Waktu itu, liburan sekolah semester
dua setelah aku berulang tahun, tahun 2010 tepatnya. Tanggal 20 desember kami
(Pras, Ade, Novan dan aku) berencana pergi mendaki ke gunung Pulosari di
kampung halaman Ade. Aku yang masih belum tahu tentang dunia pendakian pun
hanya ikut saja apa kata mereka. Yang lebih paham masalah ini adalah Pras.
Karena ia pernah mengikuti kegiatan Pramuka secara rutin, dan kami pikir memang
ialah yang mengerti masalah ini.
Waktu itu aku belum memiliki
perlengkapan sama sekali, aku pikir hanya bermodal nekat, waktu itu pula aku
hanya memiliki sendal gunung hasil tabunganku yang aku kumpulkan di Pras. Bermodalkan
ransel seadanya akupun langsung izin dengan ibuku kalau aku mau mendaki gunung
di pandeglang.
Setelah pamit izin, aku langsung
ketemuan dengan Ade, Pras dan Novan di balaraja. iya kami berangkat menggunakan
motor ke pandeglang. Cuaca pada saat itu sangat mendukung kami untuk berangkat.
Cerah sekali dan tidak ada tanda-tanda mau hujan.
Perjalanan dari Balaraja –
Pandeglang kurang lebih menghabiskan waktu 2 – 3 jam. Dan kami langsung menuju
rumah uwa’nya Ade yang berdekatan dengan gunung pulosari. Kami bermalam satu
hari disana, menikmati indahnya pemandangan di halaman belakang rumah uwa’nya
Ade dan berkeliling melihat-lihat desa.
Malam hari sebelum kami berangkat.
Pras, Ade dan Novan mengemas ulang perlengkapan dan juga persiapan yang harus
kami bawa nanti. Waktu itu perlengkapan yang kami bawa juga bukan milik kami,
melainkan hasil pinjaman dari sekolahnya Pras, Ade dan Novan dan beberapa alat
hasil pinjaman kakak sepupunya Novan. Semua barang sudah di packing dengan rapih,
hanya saja ada beberapa perlengkapan yang harus kami tenteng seperti kompor
portable dan tenda.
Ke esokan harinya, setelah sholat
Dzuhur kami langsung berangkat. Untuk menuju camp Pulosari membutuhkan waktu
15menit dari rumah uwa’nya Ade. Waktu itu kami diantar menggunakan motor dengan
saudaranya Ade’ jadi menghemat waktu dan juga tenaga kami hehehe. Uwa’nya Ade
juga bilang “nanti ikutin aja jalannya, hati-hati ya disana banyak pacet”
katanya begitu. Kami hanya mengiyakan apa saja nasehat uwa’nya Ade waktu itu.
kami juga tidak berani macam-macam karena ini adalah perjalanan pertama kami.
Mungkin Pras sudah pernah waktu Pramuka dulu.
“genk, ini kita gak kemaleman nanti
sampe atas?” tanyaku kepada Pras
“enggak, palingan juga dua jaman kita sampe. Tenang aja” katanya santai
Lalu Ade langsung membayar tiket
masuk seharga Rp.20.000 untuk empat orang. Setelah membayar tiket akhirnya kami
langsung membentuk lingkaran secara merapat dan berdoa, agar cuaca cerah dan
bisa kembali dengan selamat sampai rumah.
Jalur di Pulosari memang mulus
jalannya, bahkan sudah di semen seperti jalan raya, tapi untuk trekkingnya?
Jangan tanya deh, kaki ku sampai gemetar dibuatnya. Entah mungkin karena aku
yang baru pertama kali berjalan jauh atau mungkin aku yang kurang olahraga.
Sebab, aku melihat Pras, Ade dan juga Novan, asik saja jalan santai tanpa terlihat
lelah sedikitpun. Walaupun aku tidak membawa ransel seperti Ade dan Novan,
tetap saja aku merasa pegal dan mau turun saja rasanya. Tapi aku pikir lagi.
Masa aku menyerah belum setengah jalan?
Pras yang membawa carrier berukuran
kurang lebih 45liter itu asyik berjalan di depan kami. Sedangkan aku, Ade dan
Novan masih tertinggal di belakang.
Sesampainya di Pos 1, kami
istirahat sebentar. Berfoto-foto dan juga mengeluarkan isi cemilan yang kami
bawa. “yaudah jalan duluan, nanti nyusul sebentar lagi” kata Pras kalem. Ade
yang menarik napas langsung melanjutkan perjalanan bersama aku di depan. Novan
dan Pras berjalan dibelakang.
“eh istirahat dulu kek sebentar”
kataku yang sudah enggan untuk berjalan
“tanggung crut, bentar lagi ada pos air terjun” kata Ade cuek
Lalu aku kembali melanjutkan
perjalanku yang tampak gontai dan selalu membungkkukkan badanku ketika aku
lelah. Walaupun aku hanya membawa tenda,tapi tetap saja aku seperti di mos lagi
dengan kakak kelas di seolah.
Cuaca mulai mendung dan gerimis
kecil turun, tapi kami masih dijalur yang tidak ada habisnya menanjak. Aku yang merasa kaget dengan treknya seketika
bahagia melihat pos 1 dengan pemandangan air terjun. Ade dan Pras langsung mencari
posisi dan mengeluarkan roti bersama dengan susu kental manis. Novan yang
tampak lelah hanya mengernyitkan dahi dan menenggak air yang baru diambil dari
air terjun. Rasanya memang segar sekali. Aku juga kaget pertama kali Novan
meminum langsung air mentah hasil air terjun tapi lama kelaman aku terbiasa.
Ade juga bilang kalau di gunung jangan takut geli, kalo takut geli yang ada gak
makan trus kelaperan, Pras hanya tersenyum karena melihatku heran. Novan yang
kelelahan memejamkan mata sebentar lalu setelah itu kami melanjutkan kembali
perjalanan.
Jalur selanjutnya yang kami lewati
pada saat itu adalah tebing atau semacam batu yang licin, aku agak kebingungan
karena aku hanya menggunakan sendal seadanya. Tidak ada tali atau semacam
pegangan lainnya. Novan yang lebih dulu naik membantu aku dengan menarik
tanganku. Harus berhati-hati. Sebab kalau tidak, kami akan tergelincir dan
jatuh ke bawah. Mungkin tebing di pulosari lebih ekstrim daripada tanjakan
setan di gunung gede. Kalau di gunung gede ada pegangannya, kalau di pulosari
sama sekali tidak ada. Dengan perlahan kami naik dan akhirnya kami bisa
melewati masa sulit itu. ketakutan kami belum berakhir. Kami di hadapkan dengan
adanya pertigaan jalur.Ade mencoba untuk melihat jalur ke arah kanan tapi
disana ia tidak menemukan adanya jejak-jejak kaki manusia atau jejak kaki yang
biasa di lewati, sampai akhirnya kami memilih jalur sebelah kiri atas instruksi
Pras.
Setelah beberapa meter kami melewati jalur sebelah kiri tadi, ternyata
ada pohon tumbang yang seakan menghalangi jalan kami untuk terus naik ke atas. Dengan
wajah yang bertanya-tanya, seakan Ade memberikan isyarat apakah kami melanjutkan perjalanan atau
tidak. Pras bilang “harusnya ini jalan yang kita lewatin, soalnya ada lumut
tapi kenapa pohonnnya tumbang?” katanya begitu. Aku semakin takut dan rasanya
mau pulang turun ke bawah saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, sungguh
itu adalah pertama kali rasa takutku yang memuncak. Wajah kami semua tampak lelah
dan baju sudah basah karena percikan hujan. Sampai akhirnya kami kembali turun ke
bawah, tapi raut wajah Pras dan Ade masih yakin, kalau jalur itu adalah jalur
yang sebenarnya. Kami berhenti sejenak untuk melepas lelah, kami berdoa barang
kali ada orang yang juga mau naik ke atas. Dan ternyata benar saja..
Tiga orang pendaki berasal dari
cilegon dengan peralatan yang safety dan tampak profesional, pokoknya mereka
itu terlihat sudah lebih berpengalaman dari kita-kita yang perlengkapannya
masih ada yang di tenteng. “mau kemana a?” tanya salah satu dari mereka, “mau
naik ke atas tapi kita ragu mau naikknya” kata Pras, “oh yaudah bareng aja kalo
gitu sama kita, kita juga mau naik ke atas kok. Ini bener jalannya. Lewat pohon
tumbang” katanya lagi. “masih lama gak ya?” tanyaku. “enggak kok setengah jam
sampe sejam lagi teh”. Kata mereka lagi. Jelas saja mereka hapal jalur ini,
ternyata mereka sudah dua kali datang kesini, kami tidak banyak mengobrol
dengan mereka, sebab langkah kaki mereka begitu cepat, sedangkan kami anak baru
mendaki, seperti keong yang tengah tergopoh-gopoh.
Aroma-aroma belerang sudah tercium
dari radius 10meter, kami memasuki kawasan kawah pulosari. Karena cuaca sudah
tidak mendukung dan kondisi kami sudah mulai kelelahan akhirnya kami langsung
mendirikan tenda dan membuka alat masak. Dan akupun langsung mengeluarkan
kamera, rasanya bahagia, ketika aku pikir ini adalah puncak dari gunung
pulosari, ya aku kegirangan dan langsung mengabadikan teman-temanku yang tengah
sibuk mendirikan tenda dan juga memasak. Tiga pendaki yang menunjukan kami
jalan, memilih untuk mendirikan tenda di atas kawah. Huah aku sudah tidak
sanggup kalau harus naik lagi ke atas. Itu saja rasanya aku sudah mau pulang.
Mie rebus setengah matang pertama
kali yang aku makan, atau mie yang dipaksa matang karena perut kami yang sudah
lapar?? Haha itu rasanya memang aneh,
benar-benar aneh. Tenda sudah berdiri, kami tinggal beristirahat tidur
di dalam, tapi tiba-tiba hujan mulai turun dan angin semakin kencang. Kami
semua yang masih diluar seketika merapikan barang dan langsung masuk ke dalam.
Jaketku pun basah. jaket seharga
seratus ribu yang aku beli dari temanku dengan ukuran yang melebihi badanku aku
pakai saja dalam keadaan basah. ehm sebenanya itu bukan jaket tapi sweater yang
kalau kena air langsung kuyup haahahaha. Waktu itu kami masih egois, gak ada
yang minjemin jaket sama sekali, semuanya pakai sweater dan celana pendek
hahaha.terlebih Ade yang tidur mengenakan sleepingbag tidak mau berbagi dengan
kami. Dalam keadaan dingin kami tidur, aku menggigil. Untung saja sweaterku
besar sekali sampai kakiku aku lekukkan dan bisa masuk kedalamnya hahaha.
ade dan novan
Angin semakin menjadi kencangnya,
tenda mulai ambruk, seisi tenda mulai kebocoran dan basah, ah kami ingat apa
jangan-jangan alam mengamuk gara-gara Ade buang air sembarangan tanpa permisi?
Tapi bukankah seharusnya permisi itu kepada yang benar-benar memiliki seisi
bumi ini? tak tahulah . tapi yang jelas, setelah Ade buang air kecil waktu itu,
angin langsung saja tiba-tiba datang. Perut kami mulai lapar, air sudah mulai habis.
Tidak mungkin pula kami meminum air yang bercampur dengan belerang, rasanya
saja pahit dan katanya tidak bagus untuk dikonsumsi. Dan akhirnya, karena darurat, kami memasak mie
instan dengan air hujan yang ditadangi di depan tenda. Saat itu aku hanya
terheran-heran melihat Ade, Pras dan Novan dengan lahap memakan mie rebus air
hujan dan bekas masakan mie instan semalam. Karena lapar akhirnya aku ikutan
makan. Memang udaranya memancing perut kami untuk terus-terusan makan.
Hujan itu terjadi sampai pagi,
bahkan sampai kami pulang. Ke esokan harinya kami berfoto di kawah sebentar,
menghangatkan badan dan bermain-main dengan asap kawah pulosari. Kami tidak
melanjutkan perjalanan sampai puncak, sebab aku sudah tidak kuat dengan trek
yang dilewati, aku merasa kaget dengan jalurnya hahaha iya aku memang lemah,
padahal nanjak Cuma bawa tenda digemblok dan gak bawa apa-apa. Ya maklum saja
lah ya, kan aku anak kecil anak ingusan yang baru banget nanjak. Kami sudah
bersiap-siap untuk pulang, tapi tiba-tiba perut Novan berkontraksi menahan
mulas, dengan wajah yang pucat menahan mulas dan dingin akhirnya kami tunggu ia
membuang air hahaha .
Dengan udara yang lembab, kami
pulang. Rasanya aku bahagia bisa kembali kerumah. Baju kami mulai basah, bibir
kami bergemelutuk menahan dingin, terlebih Novan yang urat-urat tangannya mulai
mengeluarkan urat-urat karena menahan beban.
Kami pulang, di iringi dengan
rintikan hujan, dan pengalama inilah yang menjadikan kami pelajaran bahwa
mendaki itu tidak sembarangan. Kekurangan apapun dalam pendakian kami, kami
jadikann evaluasi diri agar tidak terulang kembali.
Dan alam mengajarkan kami untuk
menjadi mandiri, alam yang mengajarkan kami untuk saling berbagi, alam pula
yang mengajarkan kami untuk selalu mengingat Sang Pencipta.