Kamis, 19 Mei 2016

Semeru, Perjalanan Hati dan Pikiran





“Tidak mengharap lebih dari sebuah perjalanan, berjalan beriringan denganmu saja, sudah cukup membahagiakan”

----
Pikiranku kembali terusik ketika tiba-tiba diajak kembali menapaki tanah tertinggi di pulau jawa. Bahagia sekali rasanya.
tidak ada persiapan khusus untuk pendakian kali ini, 20hari menjelang keberangkatan aku masih harus bolak balik pergi ke bandung untuk mendaftar sebagai calon pegawai di BUMN, mempersiapkan segala berkas penting dan menyelipkannya di map yang aku siapkan agar tampak rapi dan tidak tertinggal. Olahragapun berantakan, seminggu sebelum keberangkatan aku baru melakukannya dan itupun tidak maksimal, pikiranpun mengambang acak-acakan karena terfokus pada ujian test yang akan aku laksanakn ketika aku lulus nanti. Tapi, memang Tuhan berkehendak lain, aku gugur pada awal pertempuran, tidak lulus test administrasi dan rasanya seperti tidak lulus Ujian Nasional walaupun sewaktu SMA aku lulus dengan mulus . Perasaan gundah dan putus asa menghantuiku yang sudah berlatih untuk  ujian test nanti. Perasaan bersalah terhadap orang tua menjadi beban dipundakku. Tidak termotivasi dan kurang semangat rasanya. Tapi itulah kehidupan, harus bisa menelan kenyataan pahit. Segala sesuatu yang telah berlalu yasudah berlalu, masih ada kesempatan dilain waktu, mungkin saat ini aku memanglah disuruh refresh pikiran karena sudah sekian lama tidak menjajahi tanah tinggi. setahun tidak mendaki.

Setelah melupakan kegagalan test masuk BUMN, aku fokus mempersiapkan perlengkapan yang akan aku bawa nanti . Tidak ada banyak harapan dan keinginan dari sebuah perjalanan, aku hanya berharap bisa berjalan beriringan bersama dengan dia, itu saja sudah lebih dari cukup. Perjalananku kali ini rasanya sangat berbeda, dengan dia dan juga beberapa orang baru yang beberapa waktu lalu ia kenalkan. aku berdoa semoga perjalananku kali ini memiliki kesan dan makna dan teselip di dalamnya.

Wajah baru dan perkenalan

 Stasiun Pasar Senen mulai ramai dan dipenuhi para penumpang yang hilir mudik memenuhi jalan yang ada. Para pendaki yang hendak menjajahi gunungpun sudah tampak dengan aneka raincover dengan warna yang mancolok . Gerah dan panas tak membuat semangat para pengguna Kereta api di stasiun senen untuk mengantri tiket untuk memasuki peron. Aku tergopoh membawa carrier seberat ± 7kg berjalan gontai ke arah keluar peron dan menaiki anak tangga. Tujuan utamaku kali ini  adalah Mushola, karena sudah memasuki waktu dzuhur dan sudah waktunya menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.  Ponsel yang tak lepas dari genggaman pun seakan memiliki magnet dan tak mau lepas dari genggaman. Bbm berdering nyaring dan hampir tidak ada hentinya untuk menanyakan kabar satu sama lain.

L i s t y : “Mas, aku udah sampe stasiun senen, kamu berangkat jam berapa?” tanyaku kepada Pras sambil melihat-lihat jam.
Pras : “nanti jam 2 nunggu ini baru selesai packing dan bingung mau mandi apa engga” jawabnya.
L i s t y : “mandi aja biar seger” balasku lagi
Pras : “belum tidur boleh mandi emang? Ini aku lagi main ps sama Ipul”

Hhhhah udah jam segini masih dirumah, masih main ps dan masih leha-leha? Untuk situasi seperti ini aku pasrah kalau-kalau memang ketinggalan kereta. Teringat januari tahun 2013 ketika aku yang juga akan pergi ke Semeru bersama anak-anak UI . Kami berangkat dari depok pukul 12:00 menggunakan angkot chartean, sedangkan keberangkatan kereta Matarmaja pukul 14:05 wib dan sekitar pukul 10:00 wib personil dari kawan-kawan UI masih mencari perlengkapan apa saja yang mau dibawa. Angkot yang membawa kami menuju stasiun Pasar Senen langsung tancap gas tanpa memikirkan keselamatan kami. dan sialnya tol Jagorawi terkena macet dan jalan tol yang biasanya lancar kini harus jalan merayap. Setelah sampai di sekitaran Pasar Senen, pada saat itu sudah 15menit lagi kereta akan berangkat dan kami kena macet dan harus menunggu macet itu selesai. Tak lama kemudian kereta Matarmaja lewat di depan kami begitu saja. Ah sial!!, siapa yang harus di salahkan kalau sudah ketinggalan kereta seperti ini dan kami tetap menuju stasiun Pasar Senen dalam perasaan menyesal. Ya menyesalkan kenapa kami masih leha-leha pukul 10:00, menyesal kenapa harus terkena macet, dan menyesal kenapa kami begitu lama dalam bersiap-siap. Kenapa, kenapa dan kenapa?? Itu saja yang ada dibenak . Andai saja pukul 10:00 kami sudah berangkat dari depok, mungkin tidak akan tertinggal kereta. Ya mungkin juga takdir, kalau kami tidak boleh berangkat ke Semeru, memang isu-isunya kalau Semeru sedang tutup karena cuaca ekstrem pada saat itu.

Setelah selesai menunaikan sholat dzuhur, ternyata Ka Hanum sudah sampai di stasiun dan akhirnya aku hampiri ka Hanum. Ka Hanum adalah salah satu teman baru yang Pras kenalkan kepadaku. Perawakannya yang tinggi dan berisi dengan gaya bicaranya yang friendly dan lembut membuat aku mulai nyaman dengan orang-orang baru, wajahnya cantik dan tidak terlihat bahwa umurnya lebih tua dariku 5tahun. Tidak sepertiku yang masih muda tapi seperti umur 25 hufh.  (Walaupun sebenarnya aku terkadang susah berdaptasi dengan orang baru) tapi itulah seni dari sebuah perjalanan, belum juga kenal lama tapi dibuat asik saja biar perjalanan semakin berkesan hehe.
Kereta tujuan Jakarta – Malang 15 menit lagi berangkat, sedangkan Pras dan yang lainnya masih belum datang. Dalam situasi seperti ini aku paling malas dengan sesuatu yang membuat resah dan gelisah, membuat lelah perasaan saja. Cemas dan keringat dingin mulai menggenangi wajahku, Ka Hanum yang mencoba tenang dan santai tetap tidak membuat aku yang tampak gelisah tidak bisa ikutan santai.  Bbm lagi-lagi berbunyi

Pras : “coba kamu bilang sama petugasnya, kereta bisa di delay gak 10 menit?” kata Pras santai

dalam hati ‘emang kau kira ini pesawat yang bisa request buat ngedelay keberangkatanHih ada-ada aja, kebawa ademsih’
perasaan masa bodo dan kesal mulai menjadi percikan api yang sebentar lagi akan meledak. “mereka bilang sih udah sampe di Parkiran” kata Ka Hanum. “parkiran mana? Masa dari tadi gak sampe-sampe? Parkiran kan di depan”gumamku

Jantung mulai berdebar, telapak kaki mulai basah, pikiran gak karuan, ah masa bodo kalau memang harus ketinggalan kereta. Dan akhirnyaa...

“ayoo buruan keretanya mau jalan” kata Petugas yang ada di stasiun
“buru buru buru, larii larii” triakku dan aku langsung masuk ke dalam peron tanpa tiket dan kartu identitas yang sebenarnya sudah harus di siapkan. Petugas stasiun mulai kesal karena kita maen nyelonong masuk ke dalam peron. Mereka lari  tergopoh-gopoh membawa carrier yang mereka gendong di punggung. Dan akhirnya kami melompat ke gerbong berapapun.
Rasanya kereta Matarmaja kali ini dipenuhi oleh pendaki yang akan mendaki Semeru, kanan kiri rak barang kini dipenuhi oleh carrier-carrier, bahkan bukan hanya di rak barang saja, ada juga yang memenuhi kolong kursi mereka dengan carriernya. Musim pendaki kini telah tiba, banyak pendaki yang berbondong-bondong mencari ketenangan dan sedikit pikiran dingin karena penatnya bekerja setiap hari, terlebih lagi mereka hidup di jakarta, kota metropolitan yang sibuk setiap hari dengan kemacetannya.

Kereta  mulai meninggalkan stasiun Pasar Senen. Kami mulai menempati kursi kami masing-masing dan sibuk membereskan barang bawaan kami. “kak, kenalan dulu dong” kataku mengulurkan tangan.
“Endah” katanya sambil menarik tanganku dengan ramah dan mencium pipi kiri kananku.

Satu lagi teman baru, mungkin ada beberapa yang akan aku kenal nanti, Berkenalan adalah seni dari sebuah perjalanan bukan?. Pras menghampiri kami dan mulai sibuk dengan ponselnya,begitu juga Endut yang juga sibuk membereskan perkakasnya seperti casan dan ‘terminal’ kabel. Walaupun hanya ka Endah yang baru aku kenal namun tetap saja aku butuh adaptasi dengan yang lainnya. Baru aku kali ini melakukan perjalanan panjang bersama mereka dan kami mulai mengakrabkan diri sebagai teman satu perjalanan.

Gerbong kereta ini dipenuhi oleh para pemudik, pendaki, dan ada pula yang akan pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Berbekal buah tangan dan cerita yang akan mereka hadiahkan kepada orang-orang terkasih nanti. Gerbong kereta Matarmaja kali ini sudah difasilitasi dengan AC sehingga kami  para penumpang tidak perlu lagi olahraga tangan dengan cara menganyunkan tangan dengan kipas manual. Tidak seperti pada tahun 2012 lalu ketika aku yang juga akan berangkat ke Semeru. Para penumpang mulai sibuk dan mengisi waktu mereka menunggu waktu tiba. bayangkan saja 18 jam kami di dalam kereta, rasa engap, bosan, pegal karena kaki bertekuk dan selalu duduk dengan posisi yang tidak hampir membungkuk.  bagaimana rasanya? Penat kalau kami tidak melakukan sesuatu untuk membunuh kebosanan. Endut yang sibuk mendengarkan musik, Ka Endah dengan layar ponselnya, dan Pras dengan layar tancap mininya. Aku? Menjadi pengganggu Pras yang tengah menonton sebuah film action Hongkong. Kurang lebih begitu.  Setelah selesai menonton film action hongkong berdurasi 1 jam 15 menit itu membuat kami kembali bingung harus melakukan aktfitas apalagi di kereta, seketika Pras menutupi wajahnya dan langsung tertidur pulas. Biarkanlah ia tidur, kasihan sudah hampir tiga malam ia begadang.

Ada Cerita

Kereta kami memasuki kota Semarang Poncol,  sudah hampir setengah jam kereta ini masih belum jalan dan biasanya lalu lalang pedangang memenuhi gerbong kereta ini, dengan berjualan nasi pecel atau sekedar makanan dan minuman ringan sebagai cemilan. Namun semenjak ada peraturan baru, para pedangan dilarang untuk masuk kedalam gebrong kereta. aku memandangi satu persatu wajah lelah pada teman-temanku, tertutup semua dengan sapu tangan, takut kalau tidur mereka ketauan aibnya (entah dengan mulut yang menganga atau mengeluarkan air liur. iyyuuhh). Aku beranjak menuju gerbong belakang dan mencoba untuk membasahi wajah yang sudah tampak kusam. Satu persatu aku perhatikan wajah-wajah lelah penumpang kereta ini, ada yang asyik mengobrol dan ada pula yang keluar dari gerbong mengusir kepenatan mereka selama 18 jam perjalanan.Mencoba untuk keluar gerbong mencari sedikit angin rasanya menyenangkan. ternyata ada Ka Ubay yang sedang menikmati sebatang rokok dengan segelas kopi hitamnya bak lupus yang sedang meniup permen karet. Malam yang dingin memang cocok untuk mengobrol atau berbagi cerita tapi yang mau diajak ngobrolnya malah tidur hhff...

----

Kereta kami memasuki wilayah Jawa Timur, aroma khas asap dan kabut sawahnya begitu terasa. Dinginnya, sejuknya dan pemandangannya, alam ini memang begitu indah, hijaunya padi bak permadani yang seakan mengiringi perjalanan kami. Kereta memasuki Kota Blitar. Blitar adalah kota kelahiran Bung Karno yaitu satu-satunya manusia Indonesia yang unik. Ialah bung karno. Baik kawan maupun lawan di dalam atau diluar negeripun membicarakannya. Beraneka ragam ada yang membicarakannya baik dan ada pula yang tidak. Di luar negeri mungkin Bung Karno di juluki sebagai A Love Hunter, ada pula yang mengatakan Soekarno is a trouble maker dituduh sebagai a warmanger atau a liar . sebaliknya ada juga yang mengatakan Soekarno it’s a great man, bahkan adapula yang mengatakan sebagai the greatest leader of Asia. Begitulah anggapan dan pendapat orang tentang Bung Karno. Walaupun Bung Karno mendapatkan gelar atau julukan beragam yang diberikan kepadanya, Bung Karno tetap menjadi pusat perhatian baik di dalam maupun luar negeri. Dan kami mulai meninggalkan kota kelahiran Bung Karno. Perlahan kereta ini berangkat dan Jawa Timur mulai menyuguhi kami dengan pemandangan yang Tuhan ciptakaan saat ini untuk kami. Bagaimanapun kita sebagai manusia ciptaan Tuhan harus tetap mensyukurinya walau negeri ini banyak sekali berbagai problematika.

---- 

“mau kemana mbak?” kata seorang bapak yang duduk disampingku dengan ramah
“mau ke malang pak, mau ke semeru. Bapaknya mau kemana? Ke malang juga?” jawabku melemparkan senyuman
“oh iya saya mau pulang, rumah saya di malang. Dari gerbong depan sampe gerbong terakhir isinya ini keril semua ya. Lagi musim liburan kayaknya” kata si Bapak Panjang Lebar
“hehe iya pak kan libur panjang tanggal 5-6 besok” jawabku ramah

Dan si bapak mulai menceritakan ramainya kota malang ketika musim pendaki tiba, si bapak juga menceritakan tentang dulunya bahwa  beliau pernah tinggal di jakarta dengan macetnya yang luar biasa, tentang suhu kota Jakarta sampai beliau bercerita ada seorang perempuan yang sedang menyetir mobil sambil berdandan.  “hidup di Jakarta itu harus bisa memanage waktu, masuk kerja jam 8 berangkat dari rumah jam 6, dari rumah harum, wangi dan rapih. Sampai kantor sudah kembali kumal. ya itulah Jakarta” tambahnya lagi.Aku  hanya tersenyum renyah dan menanggapi sedikit guyonan si Bapak. Aku memanglah bukan warga Jakarta, tapi setidaknya pernah tinggal dijakarta untuk menuntut ilmu selama hampir 7tahun.


Kota Malang

Stasiun Malang dengan tempat yang sama dan ciri khas yang sama. Kami mulai merapihkan dan mengangkat barang bawaan. Para calo angkutan umum-pun mulai menawarkan harga dan jasa jeep yang akan digunakan menuju resort Ranu Pani nanti. Aku masih menunggu kabar dari mas Yayan, mas Yayan sangat ramah dan mau bermurah hati membantu kami mengurus perizinan untuk mendaki dan juga membantu kami menyediakan tempat peristirahatan kami selama di malang. Sambil menunggu mas Yayan, kami juga menunggu teman yang transit dari Surabaya menuju Malang. Terik matahari jam 9 pagi mulai membuat bajuku basah karena keringat, tak seperti biasanya malang sepanas ini.

Tak lama kemudian, mas Yayan sampai di stasiun menggunakan Motor trailnya yang gagah. Aku dan Pras menghampiri mas Yayan.“udah dapet charteran angkot? Mau ngopi-ngopi dulu? Aku baru sampe jam 4 pagi dari Surabaya” katanya
“belum mas, ooh dari Surabaya. Ehmm enakan sih langsung ke tumpang aja kali ya?” kataku dengan perasaan tak enak karena mengganggu jam stirahatnya.

“oh yawis ketemu di Tumpang aja kalo gitu” lanjutnya lagi. Tapi mas Yayan masih menunggu kami sampai kami mendapatkan charteran angkot.
Pras langsung saja menghampiri supir angkot yang menawarkan jasanya kepada kami. Negosiasipun terjadi, ketika sedang bernegosiasi ada salah satu supir angkot yang sedikit ngotot agar harga tidak diturunkan lagi oleh kami dan mas Yayan pun menghampiri kami “ono opo?” katanya wajahnya yang tegas
“oh Yayan, ini loh harga sudah ada surat edaranya” (kata supir dengan bahasa jawa sambil menyodorkan selembar kertas)
“oh yawis anter ke gang limo” katanya lagi tegas.

Akhirnya kami semua mencharter 2 angkutan umum, karena satu angkutan umum tidak bisa muat  14 orang sekaligus dan di angkutan yang satunya lagi gabung dengan pendaki lain yang satu tujuan dengan kami yaitu ke pasar Tumpang. Setelah setengah perjalanan, ternyata ada pemeriksaan angkutan dan itu memakan waktu yang cukup lama. Para petugas dari Dishub pun mengecek satu persatu surat-surat dari mas supirnya. Udara panas di dalam angkutan  yang tambah dengan bercampurnya carrier sebesar kulkas dua pintu membuat keringat kami bercucuran. Setelah pemeriksaan selesai, belum setengah perjalanan mobil yang kami tumpangi kehabisan bensin dan ada suatu tragedi yaitu mobilnya kekurangan air dan membuat mesinnya hampir meledak. Kepulan asap yang keluar dari dalam mesinpun membuat kami panik.  Kami semua turun dari angkot menyelamatkan diri kami sendiri.  sedangkan Gusli, masih sempat mencoba menyelamatkan barang-barang kami ditengah kejadian mobil yang hampir saja meledak.

Para supir dan penumpang lainnya yang sedang mengisi bensin di tempat kejadian pun membantu angkutan yang kami tumpangi, mobil sudah mengebul dengan asap, tampak panas dan sudah berbau api. Kalau tidak cepat-cepat ditangani mungkin saja nasib mobil itu nahas, meledak sudah!!. Sampai akhirnya ada angkot lain yang mengangkut kami sampai ke Gang Limo. Tawa yang membuncah akibat kejadian angkot tadi membuat kami semua terheran namun diselipi tawa dan candaan.  Sesampainya di Gang Limo, kami kembali di sambut ramah oleh mas Yayan dan juga teman-temannya. Aku malu dan canggung kalau harus ikut bergabung mengobrol dengan mereka, sebenarnya asyik dan obrolannya pasti menarik kalau sudah membicarakan tentang alam dengan orang-orang yang sudah berpengalaman, menambah pengetahuanku tentang alam dan gejala-gejala yang terjadi di alam. Mas Yayan mempersilahkan kami untuk beristirahat terlebih dahulu sebelum mendaki, rasanya basecamp di Gang Limo memang sudah seperti rumahnya sendiri dan orang-orang yang ada disanapun ramah dan mau kita repotkan. Hff baiklah karena badan sudah terasa lengket dan aku sudah tampak lelah, Akupun membersihkan badan sebelum mendaki.  Ah tak peduli wajah lagi kusam seperti ini, toh wajah masih bisa di rawat dan di make upkan jadi santai saja. Nanti kalo udah putih lagi juga ada aja yang naksir. Awas saja!


Perizinan yang rumit

03 Mei 2016, Ranu Pani. 02 : 30 wib

Dengan menggunakan Jeep yang sudah hampir tua dan juga supirnya yang sudah lanjut usia, kami semua naik ke atas jeep bersama carrier-carrier kami. Jalan berkelok-kelok dan berkabut membuat hati kami merasa was-was dan takut terjun ke bawah. Aku yang duduk di depan bersama dengan ka Endah rasanya ingin turun saja, memilih jalan sampai tanjakan dan kabut hilang. Namun apalah daya, rasanya pak supir sudah sangat mahir dengan medan jalan yang seperti ini. menguji adrenalin! Pak supir yang mengantar kami menuju Ranu Pani ternyata sudah biasa bolak-balik ranu pani – pasar tumpang, bahkan katanya sebelum ramainya pendaki yang datang. Dari jalannya yang masih berbatu dan tanah, lalu lalang satwa yang melintasi jalur ini sampai si bapak juga pernah menabrak kijang karena tidak kelihatannya jalan. Dengan bahasanya yang khas membuat aku terkadang tidak mengerti dengan apa yang beliau ucapkan.

Setelah memakan waktu  ± 2 jam, akhirnya kami sampai di Ranu Pani. Kami semua menurunkan carrier. Pandanganku seketika tertuju pada Pras yang jalannya mulai gontai sebelum pendakian. “kenapa kakinya?” tanyaku heran
“gak gapapa” katanya masih gak mau ngaku
“beneran gapapa?” tanyaku lagi pensaran
“beneran gapapa yaudah sana bayar dulu”
“ah lebay” balasku yang  masih tak percaya

Entah kenapa tiba-tiba kaki Pras pincang dan wajahnya pucat seperti orang sakit, rasa khawatir mulai menghantui pikiran , “apa iya dia gak ikut naik? Gimana mau naik kalo kakinya kayak gitu? Maksain?”

Setelah membayar sewa jeep, kami menuju lokasi perizinan pendakian semeru. Semua berjalan beriringan dan dari sinilah aku mulai mengenal teman-teman seperjalanan . Ada ka Hanum, Ka Dini, Ka Endah, Aziz, Amir, Ka Ubay, Bang Ickoy, Endut,  Gusli (Padang), Arif, ka Genk, dan Maul.

Kami mengumpulkan persyaratan yang sudah disiapkan di tumpang tadi, dengan bantuan mas Yayan dan kami ikuti saja prosedurnya. Perizinan kali ini sangat berbeda dengan 4 tahun lalu, kami semua harus mengikuti briefing yang memakan waktu hampir 1,5 jam dan itu membuat kami harus mengulur waktu pendakian, dan terlebih lagi kami juga harus menunggu tiket yang habis. Waktu terulur sangat lama .

Di resort Ranu Pani sudah banyak pendaki yang akan melanjutkan perjalanan namun tertahan karena tiket belum ditangan.  Bakso malang khas Ranu Pani mulai laris oleh pengunjung yang datang. Setelah selesai briefing beberapa teman menikmati sejuknya pemandangan danau yang berada di Ranu Pani, tak terlewat pula mereka mengambil gambar yang membelakangi danau itu.sambil menunggu tiket datang dan menunggu yang lainnya berfoto, aku dan Endut memilih makan bakso malang yang mangkal di depan pintu gerbang pendaftaran. Sambil menikmati bakso hangat Ranu Pani, Aku perhatikan kegiatan para pendaki yang berada di sekitar sini, ada yang berfoto, mengemas ulang packingan dan ada juga yang memilih tidur menyiapkan energi.

Di kejauhan, tampak bang Ickoy dan ka Ubay yang sibuk bolak-balik mengurus perizinan pendakian kami, dan ada Pras yang gontai berjalan dengan wajah yang menahan nyeri karena sakit dikakinya yang semakin menjadi, ada Amir dan Aziz yang sibuk mondar mandir mengantri air, ada padang yang sibuk berselfie dengan ka Endah, ada ka Hanum dan ka Dini dengan candanya, ada Maul dan Arief yang bersandar di tumpukan tas.  Kami masih menikmati pemandangan di Ranu Pani sore ini.


Dari Sini Perjalanan dan Cerita Kami Dimulai 


Setelah tiket perizinan datang, kami semua berberes dan mempersiapkan perbekalan untuk dijalan. Headlamp, jacket, minuman, cemilan, p3k dan perintilan yang kami anggap penting haruslah berada ditempat yang mudah dikeluarkan agar tidak sulit dikeluarkan ketika dibutuhkan. Udara sudah semakin dingin menggigilkan badan dan mulai menusuk ke dalam tulang. langit sudah mulai gelap dan lampu-lampu desa di sekitar Ranu Pani pun mulai dinyalakan. Kami semua berkumpul membentuk lingkaran, menengadahkan tangan dan berdoa kepada Tuhan, berharap kami semua dapat kembali pulang dalam keadaan selamat dan sehat. Semua doa dan harap kami panjatkan, semoga Sang Pemilik Alam melindungi kami sampai kami kembali pulang kerumah. Ka Ubay mulai mengomandoi kami semua untuk berdoa . “kita udah ngaret waktu 4 jam, ini perjalalanan malem, gue gak mau ada yang mencar-mencar, ada yang pandangannya terbatas, kalo gak mau istirahat dan nungguin yang dibelakang, minimal jalan pelan-pelan, tenaga kita juga beda-beda, gue gak mau ada yang mencar jauh-jauh. Mempersingkat waktu sebelum berangkat kita berdoa, semoga kita semua sehat terus sampe pulang. Yuk berdoa di mulai” dan kami semua menundukkan, menengadahkan tangan untuk berdoa dengan khidmat dan meminta kepada Yang Kuasa agar tidak akan pernah terjadi apa-apa selama perjalanan.

Amir bergegas jalan memimpin perjalanan kami di depan, setelah itu ada Ka Dini, Ka Hanum, Ka Endah, Gusli, Maul, Ka Genk, Aziz, Endut, aku, Arief, Bang Ickoy, Ka Ubay dan Pras dibelakang. Lampu-lampu mulai di nyalakan, cahaya-cahaya temaram , udara dingin mulai menelisik masuk kerongga-rongga baju, membuat wajah kami terasa dingin. Satu persatu langkah kaki kami mulai bersahutan dan berirama seakan alam mempersilahkan kami untuk pergi meninggalkan resort Ranu Pani.  Langkah mulai cepat dan meninggalkan pintu gerbang Semeru, melewati perkebunan warga dan mulai memasuki hutan, yang mana hanya ada kami berempatbelas yang melintasi jalur ini dan kegelapan mulai menelan keramaian.

“kira-kira dari sini sampe ranu kumbolo berapa jam crut?” tanya Endut yang berjalan di depanku
“kalo cepet 4 jam sampe, kalo ngaret 5-6 jam”
“lu kalo masih lama bilang ya, jangan sebentar lagi sebentar lagi” katanya yang sudah mulai terengah
“hahaha iyaaa yaudah jalan dah”

Perjalanan malam yang membutuhkan konsentrasi ekstra dan pikiran positif dan itumembuatku lelah dan harus membuang jauh-jauh pikiran negatif, terlebih rasa takut akan hal-hal yang tidak diinginkan. Rasa khawatir itu datang, membuat aku tak tenang pergi meninggalkan dan berjarak jauh dengannya dan memilih untuk berjalan beriringan walaupun jalan sangat lambat, tak mengapa yang penting hatiku saat ini tenang.

“crut pos 1 masih lama?” tanya Endut
“ehm kurang lebih sejam lagi, ini kita udah sejam jalan kok. Jalan ke pos 1 emang lama ndut, nanti kalo udah ketemu pos 2 sampe 3 udah agak deket kok” jawabku
“nanti kita break dulu ya di pos 1” pinta Endut
“iya nanti agak lama aja di pos 1” kataku

Akhirnya aku  menjadi tim paling belakang, tim keong yang jalannya gontai tak beraturan. Di tengah perjalanan, bang Ickoy dan Ka Ubay bertukar carrier berisi tenda kapasitas 10 orang. Wajah pucatnya menahan beban pun tampak dari masing-masing keduanya  (ka Ubay dan bang Ickoy), sedangkan Arief masih setia menemani bang Ickoy yang berjalan gontai di belakangku.

“sakitnya kayak gimana?” tanyaku kepada Pras
“ngilu, nyut-nyutan, orang ketiban besi” jawabnya
“tadi di urut sama Aziz mendingan?” tanyaku lagi
“iya mendingan tapi masih sakit, kalo masih sakit juga kayaknya gak ikut muncak nih” jawabnya pasrah
“yeh harus muncaklah” kataku lagi berusaha menyemangati
“iya liat nanti, bawa adem aja hehe”
---

Sesampainya di Pos 1, kami langsung meluruskan kaki dan ada juga beberapa kelompok pendaki yang juga ikut beristirahat disana bahkan ada yang sampai mengeluarkan Sleepingbag. Tak ada kata lelah dalam perjalanan ini, tak ada yang mengeluh, yang ada hanya guyonan dan tawa yang membuncah mengobati rasa lelah dan melupakan pesakitan selama di perjalanan.  Satu persatu aku perhatikan wajah mereka, semuanya lelah namun guratan senyum masih tersisa menghiasai wajah-wajah lelah mereka. Kamipun melanjutkan perjalanan karena udara sudah mulai mengusik menjadikan kami mulai kedinginan.

Gontai dan sabar, kuat dan bertahan, Pras masih sabar menahan sakit yang di rasa pada kakinya, Ka Ubay yang setia menemani pun dengan sabar menunggu jalan lambatnya yang mulai kelelahan. Di depanku ada Arief , Endut dan juga bang Ickoy yang setia menemani langkah gontainya.

Gelap, dingin, udara semakin menggigilkan tubuh kami. Kalau kami tidak terus berjalan, udara dingin akan menjadi penyakit. Rasa ngantuk tiba-tiba menyerang, namun aku masih bertahan, aku belum merasakan apa-apa, mata masih segar. Memasuki Pos ke 2 kami semua berhenti lagi, merebahkan badan sebentar, membasahi tenggorokkan yang mengering karena angin yang masuk kedalam mulut, memanjakan lidah dengan rasa madu ataupun coklat membuat kami sedikit kembali bernergi. Berbagi cemilan sebagai ganjalan perut agar tak terlalu kosong selama pendakian. Wajah pucat kedinginan kembali menghiasai wajah masing-masing dan kami melanjutkan kembali perjalanan.

----

Memasuki pos 3 kami terserang penyakit yang membuat kami semua tak berdaya, “Ngantuk” dan mengharuskan kami melipir sebentar di pinggiran untuk berstirahat dan memejamkan mata, namun lagi-lagi udara dingin kembali mengusik kami dan mengharuskan kami kembali berjalan. Istirahat kesekian kalinya kami lakukan, namun kali ini lebih lama dari biasanya. Kaki Pras kumat lagi dan akhirnya Gusli turun tangan membantu mengurut kakinya yang sudah mulai mengeras.
di urutnya dengan telaten seperti tukang urut profesional, Pras merintih menahan sakit, bak anak kecil yang mengerang-ngerang enggan untuk dipijat .

“coba deh kakinya jangan di kakuin, lemesin jangan di lawan” kataku gemas
“ni udah tapi kan sakit adududuuh hwaaaa” katanya merintih kesakitan
“lu diem-diem aja Pras, lagian sakit ada-ada aja lu, kalo gak sakit gigi, kaki yang sakit” kata Gusli sambil mengurut kaki Pras
“hahahahaaa” tawa kali ini membuncah kesunyian dari teman-teman yang masih beristirahat.

Setelah selesai pengoperasian kaki, kami kembali melanjutkan perjalanan. Lantunan lagu tipe-X yang tak hentinya berputar memecah kesunyian,

percayalah padaku, meski di gelap malam
kamu gak sendirian”

kurang lebih seperti itu liriknya, namun tak membuat rasa ngantuk kami pulih. Ka Ubay yang bergumam tak jelas seperti orang mengigau mencoba menahan ngantuk yang begitu dahsyat dan akhirnya kami kembali break dengan waktu yang cukup lama. “kamu dingin? Di tas ini ada jaket endut kamu pake aja, jangan entar-entaran muka udah pucet juga” dan akhirnya Pras mau juga disuruh pake jaket gak pake entar-entaran.  
 “eh crut gue mau nanya deh” tanya Arief
“ketek lu sakit gak?”
“haaahh??? Keteeekk? Wahahahaahaa” seketika tawa kami memecah kesunyian, ketika Arif menanyakan hal aneh yang membuat tawa kami membuncah.
“iya luu sakit ni ketek gue gak bisa nekuk kena tas”
“lah eluu segala keteekklaahh di bawa-bawa” kataku menahan tawa
“serius guaa”
“enggaklaaahh kan gue bawa daypack hahaa”
“iya ni ketek gue juga sakit” timpal Endut

Macem mana segala ketiak ditanyain satu-satu sakit atau enggak, memang aneh tapi ya itu baru kali ini aku nemuin orang yang nanyain satu-satu Cuma buat nanya “ketek sakit apa enggak

----

Ritme jalan kami semakin berantakan, kami sudah memasuki pos 3. Dimana pos 3 ini menurutku  sudah hampir dekat dengan Pos 4. Ada satu jalur yang begitu menanjak dan tanjakan tersebut lumayan terjal, kalau musim panas jalur ini akan mengebul karena pijakan kaki orang yang berjalan  di depan kita. Namun kali ini tidak, walaupun agak sedikit licin dan lembab, memudahkan langkah kami agar tidak berlama-lama berada di jalur.  “rasanya mau nangis aja kalo jalan kayak gini” gumam Pras “kenapa? Sakit lagi?” tanyaku sambil melirik matanya “iya lumayan nyut-nyutan,salah apa coba ya?” katanya “yaudah sabar, katanya orang sabar. Namanya musibah kan gak ada yang tau, ambil hikmahnya aja, nanti juga sembuh, jangan di rasain, jalannya pelan aja ya” kataku menguatkan “gimana mau dirasain orang sakit gini” keluhnya lagi “yaudah sabar”kataku lagi singkat. Dalam hati bergumam ‘iya kalo kamu gak kena besi kakinya juga gak bakalan jalan bareng aku, pasti jalan nyelonong aja kayak kereta. Nah sekarang dikasih sakit tuh kan makanya jalannya ngiring mulu ya alhamdulillah aja sih’ tiba-tiba seakan memori di otakku memutar mp3 dengan lagu afgan yang membuat aku semakin haru dengan liriknya

untukmu aku akan bertahan, dalam gelap takkan ku tinggalkan, engkaulah teman sejati kasihku disetiap hariku. Untuk hatimu ku kan bertahan, sebentuk hati yang ku nantikan hanya kau dan aku yang tahu, arti cinta yang tlah kita punya”

ah lagi-lagi hati mendayu-dayu. Mata air sudah mengembang, teringat perjuangan rasaku ketika SMA dulu, mungkin ini yang dinamakan mengikhlaskan pengorbanan? Aku rela melihatmu berduaan di depan kelas, aku rela melihat fotomu bermesraan di monas. Aku rela bahkan aku ikhlas. Tapi untuk saat ini rasanya tidak.  

Arief yang berada di depanku masih saja meributkan ketiak yang lecet, aku yang mendengarnyapun sangat lucu, bang Ickoy yang fokus dengan langkah kakinya, Gusli yang menahan beban tas depan belakang, ka Ubay yang menahan kantuk masih tetap melangkah kaki secara perlahan.  Obrolan di saat lelah sudah tak karuan rupanya, apa saja yang dibicarakan agar kami tidak kembali beristirahat lama. Terlihat samar-samar danau Ranu Kumbolo dari pandangan kami yang diselimuti kabut tipisnya membuat kami kembali bersemangat agar cepat sampai dan beristirahat. Waktu ngaret kami hampir 2 jam dan tertinggal jauh oleh yang di depan ,dan Endut pun sudah tak telihat dari pandangan.


Ranu Kumbolo,


Sudah memasuki pos 4, jalanan berakar dan batang kayu yang keluar jalur membuat langkah kami kembali berjalan lambat dan harus ekstra  hati-hati. Salah langkah, kesandung sudah!!. setelah melewati pos 4, di kejauhan sudah lampu-lampu tenda yang berdiri di bibir Ranu Kumbolo, teriakan-teriakan dan tanda dari teman kami mulai bersahutan,  menandakan bahwa tenda sudah berdiri tegak dan siap di huni. Kami masih berhati-hati melangkahkan kaki untuk turun kebawah. Tanah yang licin dan lembab membuat kami berlima berhati-hati. obrolan absurd membuat kami tertawa tak karuan, memakan waktu lama lagi, padahal ini sudah hampir pukul 00:30 dan teman-teman dibawah pastinya sudah menunggu kami di tenda. Sesampainya di tenda, aku  langsung meminta kompor dan air agar lekas memasak air hangat. Kasihan yang lainnya sudah mulai kedingingan karena kompor berada di salah satu tas kami yang sampai belakangan. Aku dan Arief membuka kompor dan memasak sedikit makanan dan minuman untuk menghangatkan badan. Udara bulan Mei tidak sedingin bulan Agustus yang sudah masuk musim panas, kalau musim panas tiba suhu di Ranu Kumbolo bisa mencapai 0° s/d -1° dinginnya bukan main, dan aku mungkin saja  tidak akan kuat keluar tenda tanpa jaket.

Setelah masak selesai, rasanya aku masih mau menikmati bintang yang berhamburan. Rugi rasanya kalau datang kesini hanya bisa tidur di dalam tenda dan berselimut sleepingbag. Pras keluar dari dalam tenda, ikut bergabung bersamaku, Arif dan Kaubay. Dengan gontai langkahnya mencoba untuk sampai ke depan tenda, bawel dan manja -__- namanya juga orang sakit kan maunya di manja muluuukk hih. Ia meminta sarung tangan tapi sayang, sarung tanganku  hilang entah kemana, akhirnya aku kasih kaos kaki yang masih bersih, jadi tampak seperti ubur-ubur atau seperti “lu kayak squidward lu Pras” triak Arief hahaha. Berkumpullah mereka bertiga di depan tenda (ka Ubay, Arief dan Pras) dan aku rasanya ingin ikut mengobrol sambil mendengarkan lagu mendayu-dayu “berdua saja, agar malam jadi saksinya, dan kita berdua diantara kata yang tak tercuap” –payung teduh- dan  entah membincangkan apa saja di depan tenda,  tapi sayang sudah pukul 02 :  45, kalau aku tidak tidur energiku akan lemah. dan akhirnya akupun ikut merebah badan di dalam tenda.

perjalananku bukan perjalananmu, perjalananmu adalah perjalananku. Selamat tidur. Doaku malam ini : “semoga engkau kembali sehat dan menemani langkaku lagi”
----



Ggrrroookk... ggrrrroookk.. grrrooookk..

“itu pasti suara si maul” kataku yang tengah terbangun,
suara Ka Ubay pun terdengar di balik tenda yang sedang memasak air dan seakan memaksaku  untuk keluar dari dalam tenda. Aku keluar dan menyelimutkan sleepingbag ke Ka Endah dan Ka Dini yang masih pulas dan menikmati mimpinya masing-masing. Ka Ubay tampak sibuk dengan nesting berisi air yang mendidih untuk menyeduh kopi. Ranu kumbolo diselimuti oleh kabut tebal, sehingga sangat terasa sekali udara dinginya. Kalau kabut ini hilang, pemandangannya akan kelihatan begitu jelas dan memukau.  Ranu kumbolo adalah satu-satunya danau yang paling fenomenal bagi para pendaki, semenjak munculnya film limasentimeter yang menampakkan keindahan danau Ranu Kumbolo ini membuat orang-orang ingin datang dan menyaksikan sendiri keindahannya. Danau ini adalah sumber kehidupan untuk para pendaki disini, makanya tidak ada yang boleh mandi, mencuci pakaian apalagi mencuci piring langsung ke danaunya, sebab akan merusak ekosistem dan tumbuhan yang berada di dalam danau Ranu Kumbolo. Sebenarnya kita datang kesini saja sudah merusak karena menginjak-injak rumput yang tumbuh, terlebih menyisakan sampah yang kami bawa.  Di Ranu Kumbolo juga ada tempat fenomenal lainnya, yaitu tanjakan cinta. Tanjakan cinta tidak jauh dari Ranu Kumbolo, ± sekitar 50 meter dari bibir danau Ranu Kumbolo. Banyak yang bilang kalau ada orang yang sedang jatuh cinta dan melintasi tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang, maka cintanya akan terwujud dan abadi. Menurut informasi dari hasil briefing kemarin sore banyak orang yang berkali-kali datang hanya untuk melintasi tanjakan cintanya saja, sampai sebegitunyakah orang mengejar cinta?. Kalo cinta ya bilang sama orangnya langsunglah jangan bilang sama tanjakan cinta haha. Ya namanya juga mitos bisa di percaya atau tidak, tapi kalau aku sih Cuma percaya sama Yang Maha Memiliki Cinta saja, yaitu Rabb Yang Maha Kuasa.

Sepagi ini, aku sudah mengobrak-abrik kompor dan nesting. Ditemani kabut tebal Ranu Kumbolo membuat tubuhku semakin menggigil dan gigi mulai bergemelutuk bersama wajah sudah mulai dingin, beku seperti baru keluar dari freezer. Yang lainnya masih tertidur pulas dalam tenda, hanya aku dan Ka Ubay. Waktu itu Pras pernah bilang kalau ka Ubay irit tidur jadi aku rasa ka Ubay belum tidur sejak tadi kami sampai.  Dengan kopi hitamnya, ia menikmati keindahan Ranu Kumbolo yang bekabut, menunggu sang adinda yang tengah terlelap di tenda sebelah hehe.Tak lama kemudian, ka Dini dengan wajah yang masih mengantuk membuka tenda

“selamat pagi Ranu Kumbolo, hwaaa berkabut”kata Ka Dini menahan dingin

Aku masih sibuk dengan kompor dan melemparkan senyum ke Ka Dini.

“crut, aku mules” kata ka Dini
“mau i’o? Yuk di anterin, di wc umum aja tapi bersih gak ya”

Ancang-ancang tak pakai lama, Ka Dini menyiapkan tissue basah dan kami berangkat ke Wc umum yang tidak jauh dari camp kami. Wc umum ini, terbilang baru di dirikan di Ranu Kumbolo ini, dengan ‘seng’ yang ala kadarnya setidaknya membantu para pendaki agar tidak ‘pup’ sembarangan di jalur, kasihan juga kalau sampai-sampai harus kena ranjau. Pengunjung semeru kalau sudah masuk musim pendaki akan membludak, jadi di buatlah wc umum gratis yang ala kadarnya ini, dulu waktu tahun 2013 aku datang kesini, wc umumnya terbuat dari bilik bambu dan masih banyak tissue yang berserakan dimana-mana. Hhff namanya juga di alam, kalau wc umum di buat sebagus mungkin seperti wc umum di kota, mungkin banyak para pengunjung yang betah datang ke semeru ini.

Setelah selesai memenuhi panggilan alam, kami kembali ke camp. Ka Hanum dan Ka Endah ternyata sudah bangun, dan langsung beranjak menikmati indahnya Ranu Kumbolo di bibir danau bersama ka Dini dan Ka Ubay. aku masih asyik sendiri menikmati kabut dan awan birunya disini dan masih asik mengusili anak-anak yang tengah terlelap. Suara-suara lelah masih saja terdengar dari tenda laki-laki, ah sayang sekali mereka tidak menikmati kabut pagi hari ini.

----

Satu persatu para pejantan bangun. Pras yang tampak malas kena udara dingin keluar dari tenda, bang Ickoy yang mulai menyiapkan perlengkapan memasak, ka Genk yang sibuk dengan segelas kopi hitamnya, Maul yang rusuh meminjam sendal, Endut yang sibuk dengan tulisan ala-ala anak gunungnya, Amir dan Aziz yang juga sibuk dengan alat tulis mereka dan Arief yang mulai mencuat-cuat seperti burung beo apalagi kalau obrolan mereka ditimpali dengan Endut, ramai sudah gunung ini. Siapa saja pasti kena ledekan.

“ti lu bisa masak nasi gak?” tanya bang Ickoy
“bisa bang, di coba ya takut ada yang kurang”
“oke gue mau masak sop nih, enaknya gimana?”
“lama gak? Enakan sih kalo masak lama di kali mati bang” kataku yang gelisah mulai melihat-lihat jam
“soalnya anak-anak beluman pada makan, gimana?” tanyanya lagi
“ehm yaudah terserah sih hehe Cuma takut kemaleman sampe kali matinya. Engga kali ya yaudah deh masak aja”


Dan kami mempersiapkan bahan masakan dan pelaratan masak. Mulai dari gas, kompor, nesting, sendok, pisau dan wadah untuk menyiapkan masakan yang sudah matang. Arief dan Bang Ickoy mempersiapkan bahan-bahan sop, ka Genk membantu menggoreng tempe, dan aku masih mencoba menanak nasi.

Memasak juga termasuk salah satu seni dari mendaki, kami harus membawa bahan masakan sendiri, alat masak sendiri dan memasak sendiri, tidak ada yang instan di sini, semuanya serba manual dan sederhana. Di alam seperti ini, berbagai pangkat sama rata, tidak ada anak pejabat, tidak ada anak lurah, atau apapun lainnya. Uang tidak laku disini ketika keadaan memaksa kami untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan serba sendiri dan mandiri. Kami belajar saling membantu, melatih kekompakan, belajar menghargai orang lain, dan mengendalikan sikap kami agar selalu sopan dan ramah kepada alam dengan cara tidak membuang sampah sembarangan walaupun hanya sobekan kecil.

----

Masakan semuanya telah siap, ka Genk dan Bang Ickoy mempersiapkan kertas nasi untuk menjejerkan makanan yang sudah matang tadi. Nasi di hidangkan dengan cara memanjang begitu pula lauknya. Seperti makan prasmanan. Walaupun makanan ini tidak sesuai dengan porsi yang seharusnya, tapi dengan kebersamaan, makanan ini menjadi terasa begitu mengenyangkan dan terasa nikmat.
Gelak canda dan tawa, obrolan ngalor ngidul berlangsung lama disini, jepretan dari kamera memenuhi memori dan sebuah cerita terbungkus rapi untuk anak cucu nanti. “Ayah ibu mu pernah mengalami hal ini, nak” (kata kami suatu saat nanti :” )



Puncak itu bukan tujuan kita kan?” kata ku lirih
“iya” jawabnya sambil tersenyum


Setelah mengemas kembali perlengkapan, kami melanjutkan perjalanan menuju kali mati,  waktu yang ditempuh menembus Ranu Kumbolo – kali mati adalah 3 jam.
“jadi kira-kira kita sampe kali mati paling lambat jam 6” begitu kata Ka Ubay.
Kami kembali membentuk lingkaran, dan berdoa dengan khidmat. Semoga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan sampai di kali mati sana. Kali ini aku berjalan duluan di depan, padahal dalam hati, aku mau kembali beriringan jalan tapi yasudah nanti juga ketemu lagi di depan. Tak mengapa ini hanya sementara.

Aku , Ka Dini dan Ka Hanum mendahului yang lainnya berjalan. Melewati bibir danau dan kembali menikmati setiap langkah pemandangan danau, ah rasanya berat meninggalkan tempat se romantis ini. Sesekali aku menoleh kebelakang, mengkhawatirkan satu manusia yang jalannya lamban.  Tanjakan cinta sudah terlihat di depan mata. Ka Hanum yang sibuk dengan kamera ponselnya mulai merekam perjalanan kami

“ti, kamu nanti pura-pura jalan ya, aku jalan duluan” katanya dengan semangat
Dengan lincah ka Hanum memilih-milih jalan, agar tidak terbalap oleh yang lain dan bisa mengambil gambar kami yang tengah terengah bernapas. Ka Dini yang setengah berlari ke arah tanjakan cinta juga bersemangat mengambil gambar dari kamera ponselnya. Dan yang lainnya asyik berselfie ria tak mau melewatkan pemandangan dari atas tanjakan cinta. Di kejauhan aku  melihat manusia-manusia yang berjalan tampak begitu kecil. Mungkin juga mereka sebaliknya melihatku tampak kecil, dan juga tenda-tenda yang mewarnai Danau ini. Tiga langkah berhenti, atur napas kemudian jalan lagi. Ka Dini sudah menyusulku bersama ka Genk dan juga Gusli. Ditengah jalur aku menahan lelah dan keringnya tenggorokkan “hah ada untungnya juga jalan jam segini, kalo jalan tengari bolong gue mungkin gak akan kuat” gumamku yang terengah

Di kejauhan aku melihat Ka Ubay duduk bersama Ka Hanum, Arief dan Pras, Aziz dan Amir, Maul dan Endut, ka Endah dan bang Ickoy yang masih berusaha berjalan ke atas.

“ceruutt, kita main ke oro-oro ombo yuk” ajak Ka Dini bersemangat
“yuk, tapi istirahat dulu bentar yak hehe”
“ti minta minum dong” pinta ka Genk dan Gusli

Setelah membasahi tenggorokan, aku dan Ka Dini menyaksikan warna ungu dari tanaman Verbena Brasiliensis vell yang kata orang-orang ini adalah bunga lavender tapi ternyata tanaman ini adalah sebuah tanaman parasit yang mengganggu ekosistem dan tumbuhan disekitarnya, jadi tidak mengapa kalau kita cabut dan di bawa pulang. Berbanding terbalik dengan tanaman edelweis, kalau ketauan setangkai saja mengambil bunganya, pelakunya harus menerima sanksi tegas dari petugas perhutanan ini.

Dengan raut wajah yang bahagia, ka Dini mulai mengabadikan gambarnya dan pemandangan yang ada di sekitar oro-oro ombo. Begitupun denganku. Tak lama kami berfoto-foto, datanglah ka Genk dan Ka Endah, dan juga ka Hanum, ka Ubay,Gusli,  Aziz dan Amir. Mereka jalan duluan dan menikmati pemandangan bersama alang-alang verbena. Aku menikmati hempasan udara yang meyibak sebagian kerudungku kebelakang dan aku  masih menunggu.

Tak lama kemudian Arief, bang Ickoy, Endut, Maul dan Pras datang. Mereka pun tak mau kalah mengabadikan foto mereka disini. Setelah selesai berfoto-foto, mereka melanjutkan perjalanan. Aku dan Pras menyusul dari belakang. Langkah itu semakin berhati-hati sebab, Pras tak mungkin lari dengan keadaan kaki yang masih nyeri. “Kalau aku kuat, kamu aku gendong. Tapi masa orang pendek gendong orang jangkung?” gumamku dalam hati

“kaki kamu masih sakit? Itu udah bisa nekuk kakinya” kataku
“iya udah mendingan sih tapi masih nyeri gak bisa lari “ katanya lirih
“mau coklat gak? Ada di tas aku nih ambil aja”
“Ini nih yang aku mau, berjalan bersama, mengobrol walaupun tak lama. Sederhana saja inginku. Berjalalan bersamamu saja itu sudah lebih dari cukup membuatku bahagia”

Sebatang cokelat kami nikmati bersama, berfoto ria, tertawa renyah, melewati luasnya tanaman verbena brasiliensis vell, padang savana yang memukau serta langit biru yang menghampar luas bak permadani di khayangan. Mungkin tampak terlihat berlebihan tapi bagiku ini membahagiakan. Tak berapa lama kami berjalan, ternyata ada Arief, bang Ickoy, Aziz, Amir, Maul dan Endut yang sedang berfoto dengan tulisan favorit mereka. Tapi Endut lebih memilih melanjutkan perjalanan bersama Aku dan Pras menuju cemoro kandang.  


---- 

Di kejauhan ±500 meter menuju cemoro kandang, terlihat Ka Genk yang sedang beristirahat dan Ka Hanum yang menghampiri ka Genk memberikan cemilan. Ka Ubay, Ka Dini, dan Ka Endah dengan cemilan yang ditangannya membuat kami bertiga ingin ikutan beristirahat lama. Tak heran kalau disini ada pedagang yang menjual gorengan dan buah semangka sebagai penyegar tenggorokkan. dan kami di traktir sama ka Hanum heheu. Kali ini uang kami laku di hutan. Pras dan Ka Genk mengambil posisi nyaman di belakang warung cemoro kandang dan aku mengikuti mereka dari belakang. Tak hanya kami yang beristirahat, ada pula pendaki lain dan juga lalu lalang pendaki yang hendak turun dari kali arah kali mati. Ka Hanum dan Ka Ubay memilih untuk jalan duluan, sedangkan aku, Pras,Endut dan Ka Genk menunggu yang lainnya yang masih berfoto di oro-oro ombo.  Hamparan luas padang savana dan udara hangat sore ini menjadi pemandangan yang tidak boleh di lewatkan. Kicauan burung dan awan yang tertiup angin membuat mata kami betah berlama-lama singgah disini. Sudah hampir setengah jam teman kami yang lainnya masih belum muncul juga.

“set itu anak-anak lama amat pada skripsian” keluh Ka Genk
“masa mau di susulin” sahut Pras
“tau lama banget, pada ngapain kali” timpal Endut yang sudah tampak kesal

Entahlah apa yang mereka lakukan, sampai setengah jam berlalu batang hidung mereka belum kelihatan juga, oro-oro ombo berhasil menghipnotis kita semua.

Jalan menuju kali mati masih 2 jam lagi, langkah kami masih mencoba untuk melangkah maju agar cepat sampai dan tidak bertemu lagi dengan malam. Kali ini langkah Pras sudah mulai normal, walaupun terkadang ia merintih menahan sisa-sisa perih yang di rasa, setidaknya kakinya sudah bisa di tekuk, tidak seperti kemarin malam. Guratan tawa dan senyum yang tergambar dari wajahnya pun tampak kelihatan seperti matahari yang baru saja terbit dari ufuk timur. Sejak kemarin,aku belum melihat tawa dan senyum yang lepas seperti hari ini (berlebihan yah?) . tim skripsi (Arief, Gusli, Aziz, Amir dan Maul) sudah duluan berjalan di depan, tinggal aku, Bang Ickoy dan Pras yang masih dibelakang.

“kayaknya nanti ketemu landai yang ada turunannya kan ya? Kok lama banget sih? Apa udah kelewat?” tanyaku ke Pras
“nanti masih di depan, pelan aja jalannya, nanti juga ketemu” katanya begitu
“ini masih jauh tak?” tanya bang Ickoy
“masih nanjak nanti ketemu lahan datar buat istirahat abis itu turun, naik lagi baru jambangan” jawab Pras

Napas mulai terengah dan aku harus tetap berjalan, tidak mau kalau sampai harus kena gelap lagi di jalan. luas jalur ini hanya cukup untuk satu orang saja, dan ada banyak pendaki yang mulai turun ke bawah sehingga kami pun harus bergantian mempersilahkan jalan agar bisa melewati jalur ini.

“masa dari kemarin jalan gak keringetan” katanya tiba-tiba
“kamu sakit kali, masuk angin. Apa karna kaki jadi gak keringetan”
“mana ngaruuhh” katanya mengerutkan dahi
“mungkin ngaruh, kan kemaren bilangnya mau muntah sama langsung pucet,  lagian ada-ada ajasih.
kemaren kan bilangnya kamu lebay (lemes bray) sebelum berangkat. Tuh makanya kalo ngomong bae-bae” timpalku dan dia hanya diam melanjutkan perjalanan. Aku tahu orang seperti dia itu gak mau banyak ngomong dan mencegah perdebatan yang gak penting.

Sesampainya  di lahan peristirahat memasuki jambangan, kami berhenti sebentar menikmati minuman rasa melon yang aku seduh di cemoro kandang tadi. Ada Gusli yang juga ikutan beristirahat, “eh Pras sini deh, lu liat orang mirip Ka Endah” katanya membisikkan Pras dan melihat seorang pendaki perempuang yang wajahnya mirip dengan Ka Endah, lalu Gusli tertawa renyah.  lalu duluan melanjutkan perjalanan.  Aku dan Pras juga menyusul Gusli dan Bang Ickoy. Setelah turunan, datanglah tanjakan.
Napas kembali terengah dan tenggorokkan mulai kering, aku memperlambat jalan, mengatur kembali ritme langkah agar tidak kewalahan. Saking kesalnya karena kelelahan, aku memilih untuk lari menyusul Arief dan Maul yang berada di depan. Tergopoh-gopoh aku karena lari-larian, mungkin mendahului Pras dan bang Ickoy 500 meter dari mereka, lalu aku berhenti lama karena tak kuat jalan.

“sok-sokan lari lagi lu crut” kata Arief
“abis capek gue” jawabku dengan napas tersengal
“pelan-pelan aja jalannya, emang mau kemana sik” triak Pras yang menikmati sebatang rokoknya
“kan biar gak sampe malem nanti disana” sahutku
“ini kita udah mau sampe kan?” tanya bang Ickoy
“pokoknya ketemu Jambangan udah 15 menit lagi sampe bang” jawabku dengan pedenya

Dan di satu tanjakan menuju Jambangan ada satu rombongan yang akan turun kebawah, salah satu dari rombongan mereka ada yang sakit. Jalan mulai tergopoh dan rasanya memang harus di bopong. Tak kuat menahan sakit, sedangkan teman rombongan lainnya semua menggendong carrier. Wajahnya mulai pucat dan harus di papah agar bisa turun kebawah. Aku dan Pras mempersilahkan mereka untuk turun terlebih dahulu. Kami pun merasakan bagaimana rasanya sakit kalau sudah berurusan dengan tulang kaki, dan aku  jadi ingat ketika Pras memegang tasku dan bergelayut di tas, sedangkan aku tidak mampu untuk memapahnya . Disaat seperti ini, kaki dan mata menjadi kekuatan kami. Jika salah satunya ada yang sakit, maka berkuranglah kekuatan kami untuk berjalan.


-          J A M B A N G A N –


Sampailah kami di Jambangan, Puncak Mahameru yang gagah sudah tampak dari bawah sini, rasanya ingin sekali mencumbui pasirnya, kepulan asap yang keluar dari perut gunung menghiasi sebagai mahkotanya. Tempat ini di penuhi oleh para pendaki, berfoto di plang selamat datang, berfoto membelakangi punggungan gunung, dan lalu lalang pendaki yang pergi dan datang. Aku tetap melanjutkan perjalanan. Sedangkan Pras menemani Gusli dan bang Ickoy yang berfoto di plang Jambangan. Aku mengiring dengan pendaki lain kemudian langkah kaki mereka menghilang dari pandangan, pikiran negatif mulai menghantui. Menurut informasi yang diberikan, warga Ranu Pani tidak berani kalau sudah lewat dari jam 5 sore, sedangkan saat ini sudah jam 17:15. Walaupun langkahku mulai cepat,sesekali aku menengok kebelakang. Apakah aku egois meninggalkan Pras yang masih sakit kakinya. Aku memutuskan untuk menunggunya dan jalan perlahan. Tak lama kemudian, muncullah ia dengan jalannya yang gontai.

“nih waktu itu foto sama enye disini” katanya
Aku hanya diam, bingung mau menanggapi apa hehe. Tak berapa lama jalan, ada Ka Genk yang sedang istirahat sendirian, menggendong carrier dan daypack depan belakang.

“Pras lu ada samtek gak?, dari 5 jam lalu gue beloman ngerokok ni” pinta ka Genk. (samtek itu sampoerna kretek)

Dan Pras mengeluarkan rokok dari tas kecilnya. Mereka berhenti dan menikmati setiap kepulan asap yang mereka buat. Hhh kali ini kalian aku maafkan!.  Kalau jalan masih jauh dan mereka ngerokok didepanku,aku suruh mereka telan sendiri asapnya.

“ Ka Genk yuk jalan lagi, udah malem nih” pintaku
“nih pake, keliatan gak?” kata Pras mengeluarkan headlamp dari dalam tasnya. Akhirnya aku menurut saja, mata sudah mulai rabun dan jalan tampak samar-samar

“keliatan gak jalan?” nyalain aja headlampnya” katanya lagi. Di Jambangan ini memang hawanya sangat beda, entah mengapa. Apa mungkin karena hutannya yang masih rapat dan masih asli? Atau sugestiku saja yang terlalu memikirkan hal-hal aneh?? Ah think positive please, ini Sudah mau sampai kali mati.
Pras masih mengawal di belakangku dan Ka Geng di depan yang gontai mulai kelelahan. Tampak lampu-lampu dari kejauhan sudah mulai terlihat. Tandanya Kali Mati sudah sampai.

“ aku mau pipis” kataku lirih
“nanti aja kalo udah sampe, kita cari anak-anak dulu, udah pada bikin tenda apa belum” kata Pras meyakinkan.
aku berjalan meliuk-liuk menahan pipis bak layangan kusut, dan beruntunglah Aziz langsung menghampiri kami memberitahu kalau tenda milik kami tepat di dekat shelter Kali mati.

“assalamu’alaikum. Alhamdulillah” teriak kami
“listy listy” triak ka Hanum dari balik Tenda
“iya kaaak” jawabku
“kamu mau ganti baju gak?” tanyanya lagi
“aku mau pipis kaaak”
“yaudah nanti aku temenin, aku ganti baju dulu ya” kata ka Hanum

Aku masih menyender dibalik carrier, dan Pras masih menikmati kepulan asap dari mulutnya. Sedangkan yang lain menghangatkan badan mereka dengan minuman hangat yang mereka masak. aku beranjak berdiri dan..
“mau kemana?” tanya Pras
“mau pipiiiiiissssssss” jawabku sudah tak tahan
“yaudah tunggu ka Hanum dulu, masa aku yang nganterin sama nungguiin”
“listyy tunggu yaaaaa sebentaar lagi selesai kok ini” triak Ka Hanum lagi
sejak kemarin aku belum buang air kecil, rasanya merinding dicampur dingin ketika sudah kebelet mesti ditahan walaupun Cuma sebentar.

“mau dimana pipisnya?”tanya Pras
“di lapangan aja tuh disana”jawabku dengan seenaknya
“jangan jauh-jauuuuhhlaaah, tuh belakang pohon aja di balik tenda”
“diiih maluuu laaahh” ini apa-apaan sih ngeributin pipis, tadi dijlaur kagak ngomong sama sekali.
“yaudah tungguin ka Hanum dulu sabar ih”
seketika saya diam melihat Pras yang tampak gahar, mungkin dia lelah atau kedinginan.

Setelah memenuhi ‘panggilan’ alam, aku langsung masuk ke dalam tenda dan tidur, tidak ada percakapan panjang malam ini, kami harus menyiapkan energi untuk summit malam nanti.


Summit ,5 mei 2016, 00 : 00 wib
Aku beranjak bangun karena diluar sana sudah banyak yang triak-triak menyuruh kami yang berada di tenda perempuan untuk makan. Aku  mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk summit nanti. begitu juga dengan Ka Hanum, ka Dini dan Ka Endah. Endut yang sedari tadi berisik seakan membangunkan kami yang masih tidur, sibuk mondar mandir tampak gelisah. Makanan sudah di siapkan, “kok Pras masih tidur?” dalam hati. Oh iya katanya dia gak mau summit, yaudah aku bareng sama yang cewek-cewek aja pikirku.
“jaket aku pake ya” kataku pada Pras yang masih meringkuk tidur
“iya yaudah, kamu summit?” tanya Pras
“iya” jawabku lagi
Tuhkan gak summit dia, yaudah istirahat aja kasian lagian juga.  Setelah makan,aku langsung keluar tenda dan mencari-cari barengan. Ada Ka Genk yang lagi benerin tali sepatu “Ka Genk, listy bareng ka Genk ya. Kayaknya Pras gak ikut deh” kataku begitu yakin.
“ah bareng elu ntar minta tiupin balon lagi, engaap guaa haha” kataya meledek

Aku masih sibuk dengan geiter yang aku gunakan, dan juga daypack yang aku gendong. Tiba-tiba Pras keluar dan menarik daypackku “loh kamu ikut? Katanya gak ikut”
“itu headlampnya keliatan gak? Ada senter kan di dalem” katanya mengabaikan pertanyaanku
“ada, emang kaki kamu udah sembuuh” kataku  heran
“udaaaah, yaudah sana jalan duluan gih aku dibelakang sama Ka Ubay”

Dalam hati “mana bisa gue konsen kalo elu dibelakang gue, yang ada jalan mah lurus kedepan, pikirannya dibelakang ”
Sebelum memulai pendakian selanjutnya, kami kembali membentuk lingkaran, khidmat berdoa agar sampai puncak dengan selamat. Sebenarnya dariku pribadi gak sampe puncak juga gak apa-apa sih, aku pesimis muncak kalau harus berangkat jam 01:00 dini hari, hhff aku kan keong jalannya, belum lagi ngantuk-ngantuknya, tidur di jalurnya, foto-fotonya.  Setelah berdoa selesai, kami membentuk formasi barisan : Ka Genk di depan, aku, Ka Dini, Ka Hanum, Ka Endah, Gusli, Aziz, Amir, Bang Ickoy,Arief,  Ka Ubay dan di paling belakang ada Pras sebagai swipper. Iya kami memang berdua belas, sebab Endut dan Maul tidak ikut kami summit. Jalan perlahan melalui jalur baru yang dibuat oleh pengurus TNBTS, jalan lama yang melalui arcopodo terkena longsor parah dan harus di tutup total sehingga tidak boleh ada satu pendakipun yang melintas.

Semua senter membantu kami meraba jalan pada pagi ini, pendaki yang lain pun sudah siap-siap menyiapkan formasi barisan yang pas seperti kami, jaket tebal yang melekat pada tubuh mereka menandakan bahwa malam ini dingin tak seperti biasanya. Setapak demi setapak jalur tanah kita lewati, bergantian silih berganti melewati pendaki yang lainnya, meyakinkan kesehatan dari masing-masing kita rasanya wajib, mungkin sampai bosan bagi yang mendengarnya, dan jalur pasir mulai kita lalui, jalan semakin tidak karuan dan sesekali kami break untuk beberapa menit dan membasahi  tenggorokan yang mulai kering termakan angin.

“hhhhhfff hffff hffff hfff, jalur kelik?” bisikku “ perasaan kemaren gak lewat sini deh”kataku bingung
“ini kita masih lama crut?” tanya Ka Dini

“kalo udah lewat batas vegetasi biasanya udah cepet ka, soalnya waktu itu aku setengah jam sampe arcopodo, pokoknya udah sampe punggungan cepet” jawabku yakin

Langkah kami sedikit lebih cepat, Ka Genk masih memimpin kami jalan di depan. Kami dapati banyak pendaki yang kembali turun karena sudah tak kuat melanjutkan perjalanan. Pandanganku tertuju pada Pras di belakang.
“yuk kita naik lagi” ajak Ka Genk”
Perlahan langkah kami memasuki jalur pasir, seharusnya tidak seperti ini. jalan yang dilewati harusnya masih tanah. Ah ini sangat menguras tenaga, ini namanya berjuang dari awal. Jalurnya berubah total. Ini benar-benar menguras tenaga. Perutku mulai mual dan jalanpun melambat, perut terasa kosong, entah karena masuk angin atau apa. Aku tahan, harus kuat, harus kuat.

“di depan break ya” terdengar suara triakan dari belakang dan kamipun berhenti sejenak
“weh Arief sakit nih” triak Bang Ickoy
“sakit apa rip” tanyaku
“selangk****n gue sakit ni, kalo gue lanjut gue takut nyusahin doang” jawabnya menahan sakit
“dih becanda kali lu maaah, kemaren ketek” jawabku sambil menahan tawa
“serius gue cruttt, dikata becanda kali luuu” katanya serius
“lah seriuusss, haha yaudah jangan dipaksain”
“jadi siapa ni yang mau nganterin?” tanya Ka Ubay
“gue kalo sampe bawah masih bisa ngejar, gue kejar” lanjutnya
“gue aja sini yang ngaterin turun” sahut ka Genk
“ka Genk? Gapapa?” tanyaku lirih
“gapapa ti, kalo masih ada waktu gue kejar palingan”

Akhirnya Arief ditemani turun oleh ka Genk. Rasanya kembali turun disaat keinginan kuat untuk muncak sangatlah berat, antara melawan keinginan dan menolong orang sakit itu sangatlah berat di lakukan. Butuh jiwa besar dan keikhlasan untuk melakukan itu. Aku tahu rasanya Ka Genk ingin sekali muncak, tapi apalah daya, ia harus rela dan mengikhlaskan keinginannya itu.

Kami tetap melanjutkan perjalanan sampai kami menemui batas vegetasi, formasi barisan kali ini di pimpin Aziz dan Amir, aku berada di urutan ke empat dan tepat berada di belakang Ka Dini. Jalur pasir yang kami temui lebih parah dari pada track sebenarnya ketika memasuki jalur pasir di atas nanti. Belum apa-apa kami sudah di kagetkan dengan jalur pasir yang tiada habisnya. Jalur mulai bercabang dan tanah yang dipijak pun mulai longsor, kami harus ekstra hati-hati dengan pijakkan kaki kami, harus memikirkan orang yang berada dibelakang, takut kalau ada batu yang terlempar dari atas. Amir menghentikan perjalanan, jalur mulai bercabang dan kami berhenti sejenak. Istirahat kali ini agak lama, membuat mataku mengantuk dan semakin mual, kalau tidak dipaksakan jalan bisa-bisa aku muntah, rasa kantuk mulai menyerang tapi aku tidak punya kuasa untuk memaksa mereka jalan. Aku harus cari makan, apa saja makanan asalkan perut tidak terlalu kosong.ah kenapa aku begitu lemah. Aku  ingat di daypack yang Pras bawa masih ada sebungkus caca dan sepertinya ia juga masih menyimpan sebungkus biskuit di tas kecilnya. kami melanjutkan perjalanan, kali ini formasi berubah total. Aku memilih berjalan dibelakang bersama Pras dan bang Ickoy.
“kamu masih ada biskuit gak? Laper deh” tanyaku ke Pras
“nih ada biskuit Roma” jawab Bang Ickoy
“gausah koy, ni dia makan superco aja” jawab Pras

Tanpa basa basi aku melahap biskuit coklat favorite Pras, yang lain masih terus jalan dan aku berhenti sejenak untuk mengunyah biskuit, aku salah tidak membawa tolak angin. Disaat urgent seperti ini yang di cari adalah tolak angin. Sendawa tak henti-hentinya. Setelah selesai makan, kami melanjutkan langkah kami dan menyusul yang didepan.

“eh banyak yang turun tuh” suara triakkan dari atas
“yaudah kasih jalan dulu” sahut Pras dari bawah
Kami bergantian memberikan jalan untuk yang turun,
“kenapa mas turun?” tanya ka Ubay
“ini mas temen saya sakit”
“masih jauh mas batas vegetasi?” tanya Pras
“enggak kok udah tinggal 20 meter lagi” jawab mas-mas yang turun
“yaudah yuk jalan, pelan aja” katanya mengajak

Batas vegetasi masih 20 meter lagi, kurang lebih waktu yang ditempuh adalah 30 menit kalau jalurnya masi seperti ini. jalurnya benar berubah total, tidak ada jalur tanah, tidak ada tumbuhan sebagai tumpuan untuk berjalan.  Kami berhenti lagi
“duh aku mual beneran mau muntah tapi ketahan” kataku lirih
lalu Pras langsung memijat leherku agar keluar muntahan yang mau keluar

“mual gak?” tanyanya
“iya mual tapi ketahan gaenak”
“yaudah duduk dulu, jangan ditahan. Muntahin aja biar enak”
suara reakan dari tenggorokkan terdengar, ah sakit apaa ini, rasanya angin yang masuk sudah melebihi kapasitas. Perut kembung dan harus aku paksakan jalan. ini tidak benar. Orang sakit gak boleh muncak seharusnya, tapi paksakan, ini tidaklah mengapa. Jangan terlalu banyak berhenti nanti malah makin mual tertidur lalu mati!!

“udah gapapa yuk kita jalan lagi, nanti aku ngantuk kalo kelamaan berenti” ajakku ke Pras

Batas vegetasi akhirnya kami lewati, kami mulai melewati punggungan gunung. Maju lima langkah turun tiga langkah, seperti itu terus sampai atas. Udara dari atas sini pun anginnya semakin kencang, wajah menahan dingin tertampak jelas dari wajah Pras. Topi yang melekat di kepalanyapun dilapisi oleh slayer, tangannya dilipat ke pinggang tanda ia kedinginan. Jalan selangkah demi selangkah. Istirahat dan kami membalikkan badan sebentar . Bintang-bintang dari atas sini masih menemani kami, cahayanya seakan tersenyum dan menyemangati kami yang masih berjuang melewati jalur pasir yang tidak pernah habis ini.

“di daypack ada Flanelnya bang Ickoy, kamu pake aja jangan entar-entaran”kataku kepada Pras
“nanti aja, belum terlalu dingin” jawabnya malas
tak pakai lama, aku membuka daypack dan mengambil flanel bang Ickoy dan akhirnya ia pake saat itu juga. Raut wajahnya tampak jelas menahan dingin, kerah flanel di tarik keatas agar lehernya tertutup rapat. aku heran, dia suka naik gunung tapi gak kuat dingin.

“yuk jalan lagi” katanya dengan raut wajah yang mulai lelah.
aku mendahuluinya berjalan, selangkah demi selangkah ternyata jarak antara aku dengan Pras sudah mulai jauh walau hanya beberapa meter saja, aku menunggunya lagi, mengulurkan tangan dan ia meraih tanganku. Lampu-lampu para pendaki kini menghiasi Puncak Mahameru, seperti lampu taman yang berjejer di pinggiran kota. Langkahku kini semakin melamban, napas mulai tersengal padahal kalau menoleh balik kebelakang rasanya langkahku masih berada di situ-situ saja. Seperti lari di tempat.  Sesekali Pras mengajak untuk terus maju, tapi rasanya pula aku mau beristirahat lebih lama lagi.

“yuk jalan, kita udah ketinggalan jauh sama yang lainnya”

Ka Ubay tampak sedang menunggu Ka Hanum yang berhenti agak lama, raut wajahnya sudah mulai kelelahan, dua langkah maju mereka berhenti, sesekali Ka Hanum mengunyah caca yang ada di sakunya, sesekali ia juga menenggak minuman yang ia genggamnya. Di depanku ada Gusli yang masih berjuang sendirian menyusuri trek pasir yang tidak ada habisnya ini.

Pukul 04 : 00 wib

Bulan sabit tampak sumringah melihat kami yang tengah kelelahan, pantulan cahayanya seakan menerangi kami di trek pasir dan berbatu ini. Aku langsung mengeluarkan ponsel yang tersimpan di daypack yang Pras pakai dan mengbadikan keindahan bulan sabit subuh ini. Walaupun tidak terlalu terlihat jelas dan bagus hasilnya seperti di kamera DSLR setidaknya aku bisa menikmati indahnya bulan sabit di punggungan sini berdua, itu saja sudah membuat aku tampak bahagia.

“yuk jalan lagi, pelan-pelan aja, makin dingin nih” ajaknya lagi

Langkah kami mulai cepat, selangkah maju kedepan sepatu kami terendam pasir, selangkah maju, napasku tersengal dan itu membuat jantung  lelah dan tampak melompong. Aku harus menarik napas dalam-dalam agar aku tidak sulit untuk bernapas.

Teman yang lainnya sudah berada jauh 50 meter di atasku dan Pras, langkah mereka pun sama. Jalan sebentar kemudian berhenti, lalu maju lagi. Kali ini tanganku di tarik oleh Pras dan memaksakan langkahku untuk melangkah maju, sesekali aku yang menarik tangan Pras, sesekali aku melepas tangannya dan melangkah maju sedikit. Pras mengarahkan langkahku ketika aku salah berpijak, ia mengingatkan aku agar tidak ambil trek pasir yang di atasnya ada batu. Sebab kalau salah injak, yang belakang akan kena imbas dari trek pasir yang aku injak tadi. Tangan kami masih saling menggenggam, saling tarik menarik satu sama lain, sampai akhirnya kami beristirahat sebentar di jalur yang nyaman untuk di duduki.  Tampak ka Hanum yang mulai kelelahan, sesekali aku triak menanyakan kabar

“Ka Hanum sehat?” tanyaku
“sehat” katanya sambil tersenyum
“aku Cuma ngantuk” katanya lagi
“istirahat dulu ka, kita juga istirahat ni hehe”

Dan Ka Ubay yang masih setia menunggu ka Hanum yang tengah ke lelahan. Gusli yang tepat berada di depanku dan Pras merebahkan badan dan memejamkan mata, Pras langsung berteriak mengagetkan Gusli agar ia tidak tertidur di jalur. sekali ia memejamkan mata dalam keadaan dingin, maka penyakit Hypotermiapun akan mudah menyerang dan hal itu pun akan berakibat fatal. Entah pelakunya akan mengalami hypotermia dahsyat sampai mengalami kematian. teringat kejadian dimana ada seorang pendaki perempuan yang baru saja merayakan ulangtahunnya, ia meninggal tertimpa batu dari atas. mungkin karena ia tertidur dan tidak sempat menyelamatkan diri dari hempasan batu yang jatuh mengenai kepalanya. Aku mengeluarkan caca dari saku kanan celanaku dan membaginya ke Pras, setidaknya walau kami tidak makan makanan yang berat, ada sedikit energi agar tidak terkuras habis.

“iketin deh ke kepala, jangan kenceng-kenceng ngiketnya, jangan di iket mati juga” pinta Pras kepadaku

Perban yang digunakan untuk kakinya pun sekarang menjadi pengikat kepala agar kepalanya tidak terlalu dingin, ia mendouble slayer dengan perban agar kepalanya terasa hangat. Aku mengikatkannya dengan perlahan kemudian kami melanjutkan lagi perjalanan.

“kayaknya trek yang tadi kita lewatin itu parah ya?” kataku
“iya itu kan trek baru, kita gak lewat kayak biasanya”
“hu’um, belum masuk batas vegetasi udah capek duluan, nguras tenaga banget. Kacau jalannya”
“kan jalur yang lama di tutup total makanya kita lewat situ” sahutnya sambil terengah


Pukul 04 : 45 wib

Matahari kini sudah menampakkan wajahnya, awan-awan di sekitarnya pun tampak memudar tertiup angin, pemandangan di belakang punggungan Mahameru kini menampakkan keindahannya, hamparan hijau hutan sekitaran kali mati juga terlihat. Warna-warni tenda terlihat lebih kecil dari yang seharusnya. Angin subuh kini terasa begitu menusuk.

“you are the sun of my eye” bisikku



Cahaya matahari mulai menghangatkan tubuh kami yang sedari tadi menahan dingin. Pras berdiri dan memejamkan mata, kemudian melipat tangannya dan menikmati hangatnya pancaran sinar matahari yang mempersilahkan masuk kedalam pori-porinya kulitnya.
“dingin” katanya
“mau tukeran jaket?”  kataku
“enggak, muka dingin, udah berjemur tapi masih aja dingin” katanya

Aku melanjutkan langkahku dan mengulurkan tanganku mengadap pada Pras, kemudian ia meraihnya. Sesekali aku menarik tangannya agar bisa cepat sampai, tapi semangatku mulai turun dan melemah. Apa mungkin aku  bisa sampai puncak dalam waktu yang singkat ini? treknya saja sudah tidak karuan dan semakin sulit untuk dipijak. Di depanku terlihat Ka Dini, Ka Hanum dan Ka Ubay yang sedang menyenderkan tubuh mereka di belakang gundukan pasir yang tinggi.Aku dan Pras menyusul mereka, tampaknya Pras juga sudah mengantuk dan akhirnya kami beristirahat sebentar. Aku berhenti 5 meter di bawah Pras. Hangatnya pasir Mahameru membuatku teringat 3tahun silam ketika aku juga hendak summit, aku tertidur di jalur dalam keadaan dingin dan tidak ada yang membangunkan. Saat itu posisi hampir sama, seperti mayat hidup!. Tertidur di jalur berselimut pasir dan sendirian. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada aku dan awan-awan yang menyaksikan. Setelah sadar aku haus dan melangkah lagi sendiri mencari teman yang membawa air. Napas sudah hampir habis, tenggorokkan sudah hampir kering dan beruntunglah aku menemukan teman yang membawa banyak air. Sampai akhirnya aku melangkah sambil tertatih dan menapaki tanah tertinggi di pulau jawa. Namun kali ini semangat hampir habis.

Aku membuka foto kedua orang tuaku yang berada di amplop berwarna cokelat, Aku pandangi keduanya, senyumnya membuat aku rindu pulang dan di ceramahi habis habisan. “orangtua kita selalu berpesan agar tidak mudah menyerah” gumamku lirih. Suara sayup-sayup Ka Dini perlahan mengilang dan aku terelap dalam alam bawah sadar.


Keputusan


Setelah terbangun dari mimpi indah beberapa menit, Pras kembali mengajak untuk melanjutkan perjalanan . Kali ini Ka Hanum memutuskan untuk turun ke bawah. Hanya aku, Pras dan Ka Dini yang melanjutkan. Awalnya ka Dini bimbang harus ikut siapa. Melanjutkan naik ke atas bersama Pras dan aku atau turun kebawah bersama Ka Ubay dan Ka Hanum, sampai akhirnya ia memilih lanjut naik ke atas. Semangatku pun melemah, Pras juga tidak memaksa untuk lanjut naik ke atas, kalau mau naik ya naik, kalau mau turun ya turun. Tampaknya Pras juga ingin sekali sampai ke Puncak, yasudah akhirnya aku memutuskan untuk mencoba  lanjut naik ke atas.

Dari kejauhan terlihat Aziz dan Amir yang sedang beristirahat dan tak jauh di atasnya ada Gusli, ka Endah dan juga bang Ickoy

“ka, di atas ada Aziz sama Amir, hayuk kita susul” kataku ke Ka Dini
“berapa lama kita sampe sana?” katanya dengan napas terengah
“30 menit atau 1 jam lagi” jawabku

Aku berjalan duluan di depan dan di susul Ka Dini, Pras mengawal kami dari belakang.  Jalan mulai merangkak dan trek yang kami lewati semakin sulit dan juga terjal Ka Dini sudah tampak kebingungan dan sesekali ia triak karena terus merosot. Aku mengarahkan agar melewati jalur sebelah kiri yang mudah di pijak, namun entah karena perawakan ka Dini yang kecil membuat sulit untuk melangkah dan menyeimbangkan tubuhnya.  “aaaakk cruuuttttt aku gabisa turuuunnn, tolonginnnnnn” triak Ka Dini

Aku dan Pras hanya tertawa melihat kelaukan Ka Dini ditengah kesulitan seperti ini. ia kebingungan memilah-milih jalan mana yang harus ia lewati. Bingung seperti tak tahu arah . akhirnya aku kembali ke arah ka Dini dan menarik tangan Ka Dini, begitu juga Pras yang mengarahkan kami jalur yang enak di pijak

“jangan lewat sini, batu semua. Kasian yang belakang” sahut Pras
“hayuk tuh di atas ada Aziz” timpalnya
“Aaazzziiizzz tolongiin gueee dooonnggg” triak Ka Dini dari kejauhan

Tak berapa lama Aziz turun dan mencoba menarik tangan Ka Dini dengan cepat sampai-sampai aku dan Pras tertinggal jauh dibelakang.

“yuk naik lagi tuh ditempatnya Aziz aja kalo mau istirahat”
Wajah ku sudah lelah dan malas untuk melanjutkan. Pukul  07:30 wib kami masih berada di punggungan dan puncak jauuh dari pandangan.

inframe : ka dini dan aziz

“kayaknya aku mau turun aja ke bawah” kataku lirih sambil menunduk
“yaudah naik dulu aja kesana, masalah muncak atau nggak yang penting kita ketemu sama Aziz dulu”
Langkahku semakin lambat, bahkan 2 kali lipat lebih lambat daripada keong. Aku sudah putus asa mengingat jalur pasir yang aku lalui sebelum batas vegetasi tadi. Setelah sampai di tempat Aziz, aku dan Pras duduk bersampingan.

“Puncak itu bonus kan?” kataku lirih
“iyah bonus kok. Jangan di paksain kalo gak kuat” jawabnya
“kamu gak apa-apa gak muncak? Aku tunggu sini aja deh kamu muncak”
Pras terdiam berpikir sejenak dan mengambil keputusan
“ya gapapa” katanya tampak berat.

aku tau kamu mau muncak, sampe  kaki kamu sakit aja masih maksain buat ikut muncak. Kamu salah jalan sama aku, harusnya kamu duluan jalan biar aku disini aja jalan sama yang lainnya biar aku gak ngerasa bersalah kayak gini. Aku tau kamu kuat” gumamku dalam hati.

Mungkin ada rasa menyesal dan bersalah pada diriku. Aku tahu ia bisa mengambil sikap mana yang terbaik. Aku tahu ia tidaklah se egois aku yang terkadang memaksakan kehendak dan keras kepala.

Gusli yang tampak sumringah membawa kertas favoritnya turun menghampiri kami yang sedang beristirahat dan melanjutkan turun ke Kali mati. Ka Endah dan Bang Ickoy pun sama seperti Gusli, justru mereka sedang asyik berselfie dan mengabadikan gambar mereka masing-masing. Ka Dini masih beristrahat bersama Aziz dan Amir di depan, dan tak lama kemudian ia turun bersama Aziz, disusul dengan Amir di belakangnya.

“yuk turun” ajak Pras. Dan aku mengiyakan instruksinya saja.
inframe : ka Dini (sebelah kanan jaket merah), Amir (Tengah), Aziz (Sebelah kiri)

Letupan asap Mahameru sesekali mencuat ke atas, seakan memberikan salam perpisahan kepada kami yang gagal memijakkan kaki di Puncak Para Dewa itu. Letupan asap itu melambai-lambai seolah memberikan kami harapan bahwa suatu saat nanti, kami mampu kembali dan berdiri di atas puncak sana.
Puncak itu bukanlah tujuan, sebab puncak gunung hanyalah semu, puncak  sebenarnya adalah kembali kerumah.

Kami kembali turun dengan waktu yang lebih cepat dari pada naik ke atas. Walaupun turun, kami harus tetap menjaga keseimbangan badan agar tidak terguling melewati trek pasir ini. udara pukul 09:00 pagi ini seperti pukul 12:00 siang, panas dan tidak dingin seperti tadi. Rasanya ingin membuka jaket dan hanya mengenakan selembar kaos. Sesekali kami berhenti mengatur napas dan kembali berjalan. Jalur yang kami lewati bukanlah jalur ketika kami berangkat naik ke atas. Kami melintasi jalur kelik dimana jalur ini adalah jalur tanah yang mudah di pijak. Beberapa pendaki yang hendak turun pun sedang beristirahat dan berteduh di bawah pohon sambil meneguk air perbekalan mereka.

Aku dan Pras pun beristirahat 100 meter setelahnya. Aku kembali mengeluarkan sisa caca dan menyeduh minuman rasa melon kedalam botol minuman. Pras membuka sebelah geiternya dan membersihkan pasir-pasir yang menyelinap masuk kedalamnya. Pohon rindang di sekitaran jalur kelik ini masihlah sangat tinggi dan banyak jalur cabang, maka tak heran kalau banyak pendaki yang hilang dan tersesat melalui jalur ini. kami harus tetap berkonsentrasi melihat-lihat jalur yang sebenarnya kita lewati dari awal mendaki sampai turun.

Tak lama kami beristirahat, datanglah Bang Ickoy dan Ka Endah yang juga baru turun. Akhirnya kami berempat berjalan beriringan. Lantunan lagu dari ponsel kini menemani langkah kami. Langkah kaki semakin cepat, namun dibelakang, Pras masih harus berhati-hati jalan agar kaki tidak lagi terpelatuk dan nyeri. Banyak batang kayu dan akar yang berceceran di jalur, sebab memang jalur yang melintasi arcopodo ini masih banyak akar dan lumayan tinggi tanahnya. Ada beberapa tanah yang longsor sehingga kami harus berhati-hati menginjak tanahnya.

Perut sebelah kanan mulai terasa nyeri dan beralih kepinggang, masih bisa ditahan sampai camp kali mati. Sesekali aku mengeluh kesakitan, tapi aku tidak mau menyusahkan.  Berhenti sejenak meluruskan otot dan urat-urat yang meronta agar aku berhenti membuat pikiran semakin runyam “ah gimana ini turun kebawah?” gumamku pasrah. Pras masih dibelakangku dan menanyakan keadaan yang sudah tidak memungkinkan

“kenapa?” tanyanya
“sakit pinggang sebelah kanan” jawabku singkat
Dan kamipun tetap melanjutkan perjalanan.


Jangan ganggu kami 

Sesampainya di kali mati, aku dan yang lainnya pun meluruskan kaki. Endut yang tampak triak-triak meramaikan sekitaran tenda kami. Ka Genk yang duduk bersantai pun asyik mengepulkan asap dari mulutnya, begitu juga Arief yang membalas setiap ocehan-ocehan Endut. Di dalam tenda ada Ka Ubay yang terlelap,Bang Ickoy, Aziz dan Amir yang ikut menyusul ka Ubay dalam mimpinya.

“weh ambil air luu” triak Endut
“di sumber mani noh” kataku yang mulai sewot
“ah keleeee, ambil niih” triaknya lagi
“yeh gue kan abis muncaaak, emang gue robot disuruh jalan teruuuss” sahutku lagi
“wahahahahahaa bisa bales cengan gue sekarang diaaa, emang gue roboott disuruh jalan teruus” kata Endut mengulangi perkataanku
“ambil air berapa lama neng?” tanya Ka Genk
“ehmm setengah jam kurang lebih ka Genk, yuk listy ikut deh tapi nanti istirahat dululaaah”
“enak kali ni cuci muka sama sikat gigi” sahutnya lagi
“iyalaaaah, elu gue sakit beneran dikata becanda kaliii” timpal Arief yang duduk di samping ku
“hahaha abis elu nannyanya adaada aja, segala ketek laah ditanyain ke semua orang” timpalku lagi
“weh ketek mah beneran lu sakit, gue juga nihh sakit ketarik tali tas” kata Endut dengan logat bicaranya yang khas
“ya eluuu tekbal (ketek tebal) pada sakit ketek gimana kaliii” ledekku sambil tertawa
“ceruuttt ikut ambil air yaaa” triak ka Dini
“iya kaak hayuk bentaran lempengin kaki dulu heheu”

Endut yang gak bisa diem langsung mengumpulkan botol-botol untuk di isi air di sumber mani. Tak berapa lama kemudian kami berangkat menuju sumber mani, namun ditengah perjalananan aku mengurungkan niatku untuk ikut mengambil air, pinggang mulai terasa ngilu lebih dahsyat dari sebelumnya, aku kembali tergopoh-gopoh berjalan ditengah teriknya panas matahari dihamparan padang kali mati. Aku kembali ke camp dan langsung masuk tenda dan tidur tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari yang lainnya termasuk Pras. Posisi tidur serba salah, miring sakit, telentang pun sakit, menelungkup tidak boleh jadi aku membolak balikkan posisi tidur. Baru kali ini sakit pinggang di atas gunung, biasanya Cuma masuk angin, semoga bangun nanti otot kembali lentur dan kuat jalan turun.
Suara riuh mulai terdengar di depan tenda.  obrolan. canda dan tawa lepas rasanya membuat aku ingin ikut bergabung dengan mereka yang berada di luar tenda. Ternyata benar, ada Endut, Arief, Maul, Ka Genk dan Pras yang sedang asyik masak-memasak. Aku pun ikut menggeratak perlengkaan mereka. Pras sedang mengolah kentang rebus menjadi perkedel, Ka Genk yang ikut menunggu seluruh bahan masakan matang pun tak lupa dengan sebatang rokoknya, Arief dan Endut juga sedang asik merebus air untuk membuat kopi dan minuman hangat lainnya, sedangkan Maul hanya menjadi pemerhati yang baik.

“ka Genk, listy bantuin doonng ngalusin kentangnya” kataku meminta kepada Ka Genk
“kayak bisa aja luuu cruutt”timpal Arief
“bisalaaah masa gue gak bisa masaak” sahutku
“emang gue robooott jalan muluuu” ledek Endut gak jelas dari balik badan Arief
“bisalaaaaahhhh” triakku membela diri

Aku mencoba menghaluskan kentang yang Pras rebus di dalam nesting, menghaluskanya pun menggunakan gelas plastik mini dan mungil, tapi dengan begitu kentang rebus tadi, bisa juga halus secara merata. Ka Genk mulai membentuk bola gepeng dan menambahkan sedikit telur, bumbu penyedap dan juga garam. Arief mulai memanaskan minyak ke dalam penggorengan kecil sementara itu, aku melapisinya dengan telur dan berhati-hati memasukkan perkedel mentah ini kedalam penggorengan. Satu persatu aku masukkan, sampai 5 buah perkedel yang masuk ke dalam penggorengan milik Endut. Sambil menunggu perkedel matang. Ka Genk masih mengolah dan mencetak gundukkan kentang rebus halusnya menjadi sebuah perkedel. Setelah satu menu selesai di masak, menu nasi goreng menjadi sasaran selanjutnya yang akan di masak. Kali ini Pras lah yang mengolah dan memasak sendiri nasi gorengnya . Bermodalkan perlengkapan seadanya dan nasi putih yang tidaklah banyak kini menjadi makanan favorit dan masakan yang di lirik oleh teman-teman lainnya. Dengan lihai dan dibantu oleh Arief memasukkan bahan-bahan dan juga bumbu, ia mengaduknya dengan rata. Aku perhatian secara cermat “hmm jago juga dia masak” ah rasanya aku sebagai wanita gagal dalam hal masak memasak.

Setelah semua menu makanan selesai, kita semua berkumpul kembali dan membentuk formasi kita masing-masing. Memanjang seperti prasmanan. Tangan kami saling bergantian dan ada juga yang berebut takut kehabisan, ya maklum saja kalau nasinya tidak terlalu banyak di masak. Karena nasi gorengnya tidak cukup mengenyangkan perut kami, akhirnya sesi kedua masak memasak pun di lakukan. Kali ini menu makanannya adalah mie goreng tek-tek, dan entah siapa yang memasak. Bumbu dan rasanya benar-benar seperti mie tektek abang-abang.  huaa ini lezat sekaliiii. Di sisi lain Ka Genk masih saja tertidur dan sulit dibangunkan layaknya orang pingsan atau bahkan ia memang benar-benar kelelahan? Beberapa kali Ka Genk di bangunkan oleh Gusli dan Ka Endah, takut kalau Ka Genk terserang penyakit serius.pikiranku saat itu bermacam-macam, bagaimana kalau Ka Genk pulang dalam keadaan digotong menggunakan kantung mayat? semoga tidak, semoga tidak ...

Selesainya kami melahap makananan terakhir, aku, Ka Dini dan Ka Hanum kembali ke tenda, namun Ka Endah masih membantu Gusli membangunkan Ka Genk yang tengah tertidur pulas. Tiba-tiba Bang Ickoy sedikit bicara serius mengenai Ka Genk.

“assalamu’alaikum... assalamu’alaikum” salam bang Ickoy kepada Ka Genk yang tak sadar

Tiba-tiba suasana menjadi serius melihat keadaan Ka Genk, semua celah-celah tenda di tutup rapat, aku tampak panik dan memeluk Ka Dini, Ka Hanum dan Ka Ubay memperhatikan dari tenda kami.

“kasih makan yang instan aja, tuh ada quaqer-out” sahutku
“udah lu diem aja jangan berisik” balas Ka Ubay. Seketika aku diam dan tidak mau ikut campur. Mungkin sedikit kesal, aku kan hanya memberikan masukan tidak bermaksud apa-apa.

Akhirnya pintu tenda di tutup rapat, dan Ka Ubay pun ikut masuk ke dalam tenda. Di kejauhan tubuh Ka Genk di oyak-oyak oleh beberapa orang di dalam. Lucunya, Arief dan Aziz masih sempat-sempatnya saling memijat dan juga Pras tertidur telap di dalam. Ka Endah berusaha memegangi Ka Genk, sementara Bang Ickoy mencoba berinteraksi dengan makluk ghaib yang masuk ke dalam tubuh Ka Genk, dan Gusli pun ikut memahami apa yang sebenarnya terjadi.

“kincringan” sahut Arief
“dia tadi sih bawa-bawa kincringan pas turun, trus lama banget di sumber mani pas lagi gosok gigi” kata Endut
“iya tadi Ka Genk lama banget jalan turun ke bawah” tambah Ka Dini
“mungkin Ka Genk capek kali gendong tas depan belakang kemaren” sahutku

Kami semua masih mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada Ka Genk. Tak lama kemudian tubuh Ka Genk sudah bisa duduk dan bisa bicara walaupun sedikit. Pandangannya masih kosong, seperti ada sesuatu yang mau disampaikan oleh kami. Sebelum kejadian yang di alami oleh Ka Genk, sebenarnya Endut sudah mengalami hal-hal aneh kemarin sore ketika kami baru sampai, tapi mungkin kami acuhkan dan tidak mau ambil pusing. Aku pribadi memang mempercayai hal-hal ghaib tapi bukankah para malaikat dan Tuhan kita juga ghaib? Tidak terlihat kasat mata dan hanya bisa dilihat kalau kita mendapat RahmatNya. Jin adalah makhluk plagiat yang memang diciptakan untuk menggangu manusia, sifatnya pun memang menyombongkan diri dan ada yang taat. ada juga yang tidak taat kepada Penciptanya.

Setelah lumayan pulih, akhirnya Ka Genk mau makan yang telah di sisihkan oleh teman-teman. Perkara tadi masih belum selesai,  Ka Genk harus kembali ke Sumber mani menyelesaikan urusannya. Sebelum kejadian itu,  memang aku menemukan kincringan di saku jaket Ka Genk ketika aku membereskan tenda laki-laki, namun tidak aku hiraukan, aku pikir kincringan kecil itu memanglah miliknya.

Hujan lebat mengguyur kali mati, suara gluduk pun ikut meramaikan hujan kali ini. kepulangan kami untuk sampai Ranu Kumbolo lebih cepat pun tertunda ± 1 jam. Setelah hujan reda, kami langsung mengemas perlengkapan  yang akan di masukkan kembali ke dalam tas, dan Ka Genk kembali ke sumber mani di temani oleh Bang Ickoy, Aziz, Amir dan Arief. Sudah hampr sejam berlalu mereka belum juga kembali ke kali mati, kami masih mengkhawatirkan mereka, semoga tidak terjadi apa-apa.

Gairah untuk bercanda ataupun sekedar mengobrol seketika hilang karena kejadian tadi,aku masih begitu serius mengemas perlengkapan apa saja yang belum masuk kedalam tas dan yang lainnya pun ikut mengumpulkan barang-barang sambil menunggu yang lainnya datang dari sumber mani. Tak berapa lama kemudian, dengan wajah yang sedikit lega Ka Genk datang dan ikut mengemas peralatan.  Satu persatu mereka bereskan dengan rapi.

Pukul 17:30 wib

Setelah semuanya selesai, kami semua membentuk lingkaran untuk yang terakhir. Kami semua berdoa agar selalu diberikan keselamatan dan kesehatan agar sampai di rumah dengan selamat, berkumpul dengan ayah, ibu, kakak, adik dan orang tercinta dirumah.

“ini perjalanan kita pulang, pencahayaan udah sangat minim, tenaga kita juga terbatas dan beda-beda, gue mau semuanya rapet gak ada yang mencar. Yuk berdoa semoga kita semua dikasih kesehatan dan keselamatan” kata Ubay

Lalu dengan khidmat kami berdoa, memanjatkan kepada Rabb kami agar kami semua selalu dalam lindunganNYa, selalu diberikan kesehatan sampai rumah.

Lampu-lampu mulai dinyalakan, Mahameru yang gagah melambaikan pertanda memberikan salam perpisahan, rasanya berat meninggalkan tempat ini, masih mau berlama-lama dan bermain ditempat ini. udara dinginnya, hembusan anginnya, kicauan burungnya, padang edelweisnya, savana indahnya, pohon rindangnya akan selalu kami rindukan. Aku  jalan duluan, padahal berharap Pras mengajakku jalan beriringan. Tapi ditengah jalan sebelum keluar kali mati kami kembali beriringan “yes” dalam hati. Padahal wajah ku sudah tidak bersemangat lagi dan tulang pinggang disebelah kanan pun mulai kumat lagi, carrier yang aku bawa memang tampak begitu ringan dari sebelumnya tapi rasa ngilu masih saja menggerayangi. Lampu-lampu yang terbatas membuat kami harus lebih berhati-hati dalam melangkah, beruntunglah headlamp milikku seharga Rp 35.000 masih terang dan cukup untuk menerangi jalan berdua. Di depanku tampak Endut yang gontai menggedong carrier berisi tenda kapasistas 10 orang, di depannya lagi ada Bang Ickoy dan Arief, Ka Hanum, Ka Dini dan Ka Endah seperti biasa berada di depan kami bersama Gusli dan seperti biasa pulaa aku masih setia menemani Pras yang kakinya masih belum pulih, ditemani juga dengan Ka Ubay.

Ritme langkah kami semakin cepat melewati jalur menurun yang berkelok-kelok,  kami harus tetap fokus pada jalur yang tertutup rapat oleh daun dan juga akar yang mengahalangi jalan. sesekali kaki kami tersandung akar dan tersangkut batang pohon yang menghalangi jalur. Udara semakin dingin dan aroma mistis pun selalu mengikutiku , tiba-tiba...

“astaghfirullohaldziimmm. Prasss, Prass, lu duluan dah jalaan, gue dibelakang aja” triak Endut yang tengah ketakutan.
“huahahahahahaaa, lu kelelahan itu nduutt, udah jalaan ajaa gapapa” kata Pras sambil terkekeh
“kenapa ndut? Tanyaku
“sike, pohon ngagetin aja, mana gue gak pake senter lagi kan” keluhnya

ternyata yang dihadapan Endut saat itu adalah Pohon kecil  yang berdiri menghalangi jalan, hingga pikiran negative Endut akan hal mistispun semakin nyata terlebih lagi kondisi fisik yang sudah mulai kelelahan. Akhirnya Pras pun memberikan headlamp yang ia punya kepada Endut dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Aku berhenti sejenak dan mendongakkan carrier yang aku gendong, pinggang mulai terasa nyeri dan semakin kuat rasa nyerinya, namun kali ini aku tahan lagi dan lagi. Pras menawarkan untuk menukar carrier ku dengan daypack yang ia pakai, ternyata daypack yang digunakan Pras terlalu enteng untuk seukuran dia. Menukar sesuatu yang berat dengan yang enteng untuk di gendong rasanya sangat tidak seimbang, rasanya punggungku seperti ada yang mendorong maju kedepan. Ah tidak aku hiraukan, mungkin benar kata Pras, itu hanyalah suggesti ketika kami mulai kelelahan.

 Lalu lalang beberapa rombongan pendaki sering kali kami temui di jalur menuju kali mati, mereka masih berusaha menembus malam agar sampai tujuan, sama seperti kami yang akan pulang. Tujuan sementara kami kali ini adalah sampai di Ranu Kumbolo dengan selamat. Kalau sudah melewati oro-oro ombo dan tumbuhan verbena brasiliensisvell yang sangat tinggi, itu sudah membuat hati kami lebih tenang lagi, atau kami melewati dua bukit yang mengitari padang verbena itu.

Beberapa meter lagi, Cemoro Kandang akan sampai. Endut masih tampak berjalan di depanku. Dengan gontai dan ciri khas berjalannya saja sudah kelihatan kalau yang berjalan di depanku memang benar-benar Endut, bukan makhluk astral lain atau semacamnya.

Sesampainya kami di Cemoro Kandang yang gelap gulita ini, aku langsung mencari posisi enak untuk meluruskan kaki. Aku melipir di satu batang pohon yang tumbang di belakang Plang Selamat datang. Pras yang datang bersamaan ikut duduk di sampingku saat itu.
“gimana perutnya masih sakit?” tanyanya serius
“enggaak gapapa” kataku menahan ngilu bercampur dingin

Tiba-tiba tatapanku mengarah Ka Genk yang berada di belakang teman-teman lainnya, pikiran kembali negative, apakah kondisi Ka Genk saat ini kembali normal? Atau mungkin saja ia masih di ikuti oleh penghuni kali mati dan  lagi-lagi aku tidak mau berlama-lama melihat Ka Genk. Tiba-tiba bang Ickoy memecah lamunanku

“ti jasjus masih ada???”katanya setengah berbisik
“masih nih, abang mau?” tanyaku balik
“enggak buat nanti aja” katanya

Ka Hanum dan Ka Dini pun ikut menanyakan kabarku, walaupun aku tahu, mereka sebenarnya juga sedang kelelahan.
“kita lewat mana nih crut?” tanya Gusli
“kita lewat atas aja, nanti melipir ke kanan tapi gue juga lupa” jawabku
“coba neng elu di depan” sahut Ka Genk

“Wah Ka Genk udah sembuh?” gumamku dalam hati setengah ketakutan.

Tanpa basa-basi akhirnya aku medahului Pras dan juga Ka Ubay,aku hampir lupa jadi agak sedikit tidak enak kalau sampai salah jalan. pikiranpun sudah tidak fokus, aku berdoa semoga Pras mengoreksi jalur yang aku lewati kalau-kalau aku salah jalan. Jalur cemoro kandang menuju Oro-oro ombo kali ini agak sedikit becek dan masih ada sisa-sisa air yang menggenangi jalur,aku mencoba untuk belok ke arah kanan untuk melihat jalur, dan lucunya Ka Dini pun ikutan melintasi jalur yang salah, mungkin ka Dini sudah mulai lelah. aku masih melihat-lihat apakah jalur ini memang jalur yang harus di lalui atau bukan.

“mas coba deh liat, ini bukan sih jalannya?” tanyaku ke Pras
“kamu liatnya gimana? Jalurnya jelas gak?” tanyanya balik
“enggak ada jalur, gimana? Kita lewat bawah aja deh kayaknya di depan deh tanjakkannya bukan disini” sahutku. aku yang tidak berpengalaman membuka jalur ataupun menjadi leader takut salah dan memilih untuk meminta pendapat dengan yang sudah ahlinya,aku takut salah bicara, takut salah ambil langkah dan aku takut sama Ka Ubay hehe.

“yaudah lewat bawah aja” sahut ka Ubay yang tampak kalem

Akhirnya kami menyusuri  jalan yang dipenuhi alang-alang setinggi 2 meter itu. Tanahnya yang lembab dan sedikit di genangi oleh air membuat kami harus lebih berhati-hati agar sepatu kami tidak basah. Sampai pada akhirnya kami menemukan jalur yang sebenarnya. Dengan langkah yang cepat kami menyusuri kembali oro-oro ombo dari atas bukit.

“bintangnya gak sebanyak kemarin” gumam Pras
“iya kan habis hujan, mungkin ke tutupan kabut” sahutku lirih
“serem juga ya kalo diliat-liat dari atas sini” timpal Arief yang sedang merebahkan badannya

Udara Ranu Kumbolo sudah terasa dari kejauhan sini, dinginnya mulai menembus pori-pori sampai ke tulang. Perlahan kami kembali berjalan menuju Ranu Kumbolo, dan seketika pandangan kami terbelalak melihat ramainya pendaki yang berkunjung hari ini, sangat membludak!!!. Tenda-tenda yang disinari oleh senterpun mengalahkan bintang dilangit, Ranu Kumbolo kini berubah menjadi pasar kaget. Ramai dan padat, jarak antara tenda dengan tenda satunya pun saling berdekatan. Suara riuh obrolan dan triakan para pendaki pun terdengar dari atas tanjakan cinta. Bahkan bukan hanya itu saja, para pendaki yang baru datang pun sudah kelihatan senternya dari kejauhan 3km, kini gunung bukanlah tempat untuk menyendiri, tapi tempat untuk rekreasi. Semoga saja para pendaki pun sadar akan sampah yang ia bawa dan tidak membuangnya di sembarang tempat.

Perlahan kami mencoba turun dari tanjakan cinta, aku tetap setia dan masih saja setia menemani Pras yang gontai menuruni jalur ini “sampai nantipun aku juga setia kalo kamu juga setia” gumamku sambil terkekeh huehehe. Aroma masakan dari atas sini pun mulai terasa sampai sini, kami tetap berjalan dan melewati tenda-tenda para pendaki.

“sini mass, mampir-mampir dulu, ngopi-ngopi dulu istirahat” sapaan ramah dari beberapa pendaki kepada kami yang tengah melintasi tenda mereka, lalu Pras pun ikut menyaut dengan candaan khasnya. Ranu kumbolo kini tampak padat seperti akan ada konser band ternama di Indonesia, jalan yang hanya cukup untuk satu orang kini harus terbagi dua dan tampak berdesakkan, harus ada yang mau mengalah untuk memberikan jalan untuk salah satu dari kita, tapi terkadang yang diberikan jalan suka seenaknya dan malah sengaja menabrakkan diri dengan tas segede kulkas dua pintunya itu. Huh menyebalkan!

Angin yang berhembus di Ranu Kumbolo malam ini begitu menusuk dari biasanya, walaupun padatnya tenda yang berdiri tidak membuat suhu udara disini menjadi hangat, dinginnya sangat kuat. Lagi-lagi rasanya mau muntah dan sudah terasa mual, rasa kantuk pun menyerang, kini pinggang rasanya tak lagi bisa diajak kompromi. Dengan gontai dan berjalan yang lamban. Aku, Pras dan Ka Ubay tertinggal oleh yang lainnya di depan. Mereka tampak lincah dan terus berjalan.

“dang kita lewat samping aja jangan lewat tanjakan” triak Pras
“lu jalan duluan Pras” sahut Gusli
“udah jalan aja” timpalnya lagi

Langkah Gusli pun diikuti oleh yang lainnya yang mengekor dibelakang, dari kejauhan aku melihat mereka tampak memilah-milah jalan yang harus mereka lalui, belok kenanan kemudian memutar balik ke arahku karena tidak menemukan jalur seharusnya. Lalu Gusli pun triak lagi dari kejauhan

“Praaaass ini jalurnya mana siih?? Udah lah lewat jalur biasa aja”  triak Gusli lagi

Pras masih terdiam dan memperhatikan yang lainnya mencari-cari jalan yang sebenarnya.
“gapapa kita ikutin aja, itu bener jalurnya tapi kalo gamau yaudah lewat atas aja” sahut Pras (heuh labil)

Setelah hampir setengah jam mengitari jalur yang tidak jelas, akhirnya kami melewati jalan yang biasa kami lewati kemarin. Para pendaki yang baru saja datang memenuhi trek dan kembali harus bergantian dengan yang akan pulang. Sesekali aku berhenti sejenak dan membungkukkan punggungku untuk sekedar menahan nyeri. Kali ini Pras yang bergantian membopong aku yang tengah menahan nyeri. Dengan sabar menungguku yang jalannya mulai lamban.

“apa yang di rasa? Masih kuat jalan gak?” tanyanya
“masih, tapi pelan-pelan ya jangan ngebut jalannya. Rasanya ngilu” jawabku lirih
“iya yuk jalan lagi, istirahat di Pos 4 aja.  banyak yang lewat tuh” ajak Pras

Perlahan aku menaiki jalur yang mulai menanjak menuju Pos 4, dan di tengah-tengah jalur ada saja yang mendirikan tenda dengan alasan temannya tiba-tiba sakit dan menggigil karena kakinya keram. Memang pendaki yang sakit itu meminta maaf kepada kami yang melintasi jalur itu. Kami tahu itu sangatlah darurat, tapi kenapa tidak melihat situasi dengan ramainya pengunjung yang membludak seperti ini? bukankah lalu lalang orang jalan malah mengganggu istirahat yang sakit? Masih ada Pos 4 sebagai tempat singgah, mungkin orang juga maklum kalau keadaannya memang sudah tidak memungkinkan.

Sesampainya di Pos 4, aku langsung ambil posisi enak untuk bersandar, tapi justru Pras malah menyuruhku masuk ke dalam Pos dan aku tidak mau. Aku lebih memilih bersandar di balik carrier sambil mengumpat dibalik bahunya. Sebenarnya bukan karena itu alasannya, tapi karena aku sudah malas bergeser kembali ke dalam pos.

“kamu mau pake sarung tangan gak?” tanya Pras
“enggak, ribet” jawabku lemah
“tangan kamu udah dingin, nih pake aja” katanya mulai khawatir.
 “emang yang kamu pake itu sarung tangan? Orang kaos kaki aku gitu juga, udah kayak ubur-ubur” jawabku terkekeh
“yeh batu dikasih taunya, udah nih pake” Pras langsung membuka kaos kaki yang ia kenakan di tangannya dan memakaikannya ke lenganku. Sebenarnya sih bukanya aku gak mau pake sarung tangan tapi, bukan sarung tangan yang dipakein tapi sarung kaki hahaha. Walaupun sarung tangan yang ia berikan sebenarnya adalah sarung kaki, tetap saja aku mau memakainya.

Ka Genk mengeluarkan melon dari dalam tasnya, kemudian ia belah menjadi beberapa bagian dan
memberikannya kepada kami. Jatah melon Pras malah diberikan kepadaku walaupun aku tahu, Pras suka dengan Melon tapi apalah daya aku gabisa nolak pemberiannya itu. Hari sudah semakin larut, udara pun sudah semakin dingin, gigi-gigi sudah mulai bermelutuk dan matapun sudah mulai mengantuk. Kami melanjutkan lagi perjalanan dan aku selalu tertinggal di belakang. Jalanku semakin lambat dan lambat, baru berapa langkah jalan aku sudah harus berhenti. Pras masih sabar dengan langkahku. Sesekali langkah kami cepat dan terhenti mendadak karena rasanya syaraf di pinggangku mulai menjerit-jerit agar aku tidak terlalu cepat berjalan.

Napas tersengal dan tenggorokkan kering karena angin.
“mau di gendong?” tanyanya
“enggak, jangan. Kan kamu masih sakit kakinya. Gapapa aku jalan pelan-pelan aja” jawabku dengan mata mengembang. Apa-apaan ini baru jalan segini udah mau di gendong. Menyusahkan saja, keyakinanku untuk sampai kebawah tanpa di gendongpun semakin kuat
“beneran gapapa?” katanya tampak khawatir
“iya serius gak apa-apa, yuk jalan lagi” jawabku meyakinkan.

Tak berapa lama kemudian, kami bisa menyusul yang lainnya sedang beristirahat di depan, dan Pras langsung menghampiri ka Endah lalu memberitahu kalau aku sakit. Lalu ka Endah memberikan aku obat anti nyeri dan juga mengolesi lotion peregang otot di pinggangku.

“listy, kamu jangan minum Jasjus dulu ya, kayaknya kamu kurang minum air putih” serunya
“iya kak” kataku mengiyakan.

Menurut informasi yang aku dapat, ka Endah adalah seorang perawat jadi jelas saja kalau ia mengerti obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Setelah mengobati ,akhirnya mereka kembali berjalan mendahului langkah kami.

Lalu lalang pendaki yang baru saja naik pun kini meramaikan jalur dengan berbagai macam musik dan kami harus berbagi jalur dengan yang lainnya. Kami telah sampai di Pos 3 yaitu turunan terjal dan licin membut kami harus bergantian untuk naik ataupun turun. Ada pendaki yang mempersilahkan kami untuk turun duluan, dan ada juga yang masa bodo tidak memperdulikan. Di jalur lainnya, kami harus menunggu lama para pendaki yang akan naik. Endut tampak kesal dan menyuruh yang depan untuk tidak memberikan jalan kepada mereka

“trus trus jalaaan, kita ngejar waktu kereta nih” triak Endut
“ayo jalan terus, kereta kita pagi nih. Truus truus jalan” timpal Ka Ubay
Aku  hanya terkekeh yang berada di belakang mereka, lalu Ka Ubay tiba-tiba bertanya ke Endut

“emang kita udah dapet tiket kereta?” kata Ka Ubay
“huahahahahahahaa sepik aja duluuu biar dikasih jalan” jawab Endut.

Kami masih menyusuri jalur yang padat ini, bayangkan saja banyak tenda-tenda yang berdiri dipinggiran dan jalur dan banyak pula pendaki yang kelelahan tertidur beralaskan matras dan berselimut sleepingbag saja. Mungkin karena padatnya pendaki yang datang hari ini sangatlah membludak. Mungkin melebihi kuota yang sudah di tentukan. Dan disepanjang jalan ini para pendaki tidak ada habisnya berjalan dan berpapasan dengan kami.

“mas, aku ngantuk udah gakuat” kataku yang jalannya mulai gontai dan tak terarah
“yaudah tidur di depan aja tuh, atau di Pos 1 aja ya, udah deket kayaknya sabar ya” katanya meyakinkan
“masa kamu sakit nuntun orang sakit sih” kataku setengah mengantuk
“ya gapapa emang kenapa? Kalo keadaannya emang gitu mau diapain lagi?” sahut Pras
“emang kaki kamu udah gak sakit?” tanyaku lagi
“masih sedikit, tapi ya gapapa yaudah yuk jalan biar kamu bisa tidur”

Mataku kembali mengembang supaya gak nangis di jalur. Yang ada dipikiranku saat itu adalah aku harus bisa sampai bawah. Aku mau menyudahi penderitaan yang gak ada habisnya ini. aku mau pulang, bermain dengan keponakanku yang lucu, dan memeluk erat-erat tubuh gempal ibuku.

Selangkah demi selangkah aku memaksakan jalan dalam keadaan mengantuk dahsyat dan menahan sakit . sesekali kaki kesandung karena sudah tidak fokus pada jalur sampai akhirnya aku menyerah dan tidak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan.

“mas udah istirahat dulu deh sebentar disini, aku ngantuk banget” pintaku ke Pras
“yaudah cari posisi yang nyaman aja”katanya sambil menghentikan langkah

Lalu Pras ikut duduk disampingku dan melekukkan kaki kanannya sebagai tumpuan kepalaku untuk bersandar. Lalu lalang orang yang masih terdengar oleh pendengaranku seolah mengilang dan sayup-sayup terdengar. Aku mulai terlelap dan lupa dengan kesakitan yang aku rasakan.

Tanganku tiba-tiba sudah digenggaman tangannya , ya. Tanganku  mulai dingin dan tubuhku mulai menggigil, Aku  mulai dibangunkan dan ditambah ada lagi suara laki-laki yang berada di samping dan juga di depanku . Ternyata Ka Genk dan Arief  yang ikut menungguku yang tengah tertidur di jalur.
“udah tidurnya? Masih ngantuk gak? Lanjutin di pos 1 aja ya sebentar lagi kok, masih kuat gak? ” kata Pras meyakinkan.
“lu sakit crut?” tanya Arief. Aku hanya menganggukkan kepala tidak berdaya.  Tanganku kembali di genggam oleh Pras, sesekali genggaman itu semakin kuat dan rekat. Tak boleh dilepas. Kalau jalanku mulai nyelonong kedepan, tanganku langsung ditarik olehnya dan hanya boleh berjalan disampingnya saja. “iya jangan dilepas terus sampe nanti juga gapapa” gumamku.  Langkah Ka Genk di depan bersama Arief semakin cepat dan aku tidak bisa menyeimbangkan langkah mereka.

“ka Genk jangan cepet-cepet dong jalannya” kataku dengan sayup-sayup mata yang mengantuk
“iya, nih dipelanin jalannya yaa” kata ka Genk

Arief dan ka Genk masih asyik bercanda, saling sahut menyaut berpura-pura menjadi panglima dan juga Jendral perang. sesekali Ka Genk berhrnti dan Arief menawarkan untuk bergantian tas, lalu dengan entengnya Ka Genk menjawa "Lu mau kele-kelein gue lu" sambil pasang muka agak mengesalkan.  Mereka tertawa dan aku hanya bisa tersenyum renyah tanpa suara. Jalur sudah tampak sepi dari lalu lalang pendaki yang akan naik, tinggal kami ber empat saja yang tersisa. Selebihnya sudah berjalan di depan kami. Mungkin hal yang sama mereka rasakan sepertiku , menahan ngantuk yang luar biasa dan butuh istirahat karena tidak mungkin kami bermalam di pos 1 nanti, kami sudah harus kembali ke Jakarta hari sabtu sebab sudah ada yang mulai masuk kerja. Mungkin ada sebagian dari kita yang masih diperpanjang waktunya.

Genggaman itu semakin erat dan membuatku lagi-lagi tidak mau melepasnya, seperti ada magnet yang tertanam dalam tangannya. Perjalanan kali ini seakan aku lebih berharga dari perjalanan-perjalanan sebelumnya yang terlalu sering sendiri dan harus berusaha mandiri. Rasa khawatir tampak jelas terlihat dari raut wajahnya, ini bukan euforia rasa saja tapi ini memang benar adanya. Lembutnya hembusan angin malam ini membuat langkah kaki kami ber empat semakin cepat dan melupakan kesakitan-kesakitan yang ada. Walaupun mataku sayup-sayup mengantuk tapi aku masih harus fokus pada jalan yang berada di depan. Kalau aku mengingat kembali perjalanan rasa dengan dia mungkin sangatah rumit dan sulit dijelaskan. Bagaimana rasanya dulu menjadi orang yang teracuhkan dan kini seperti menjadi seorang tuan putri walaupun hanya satu malam saja.
Samar-samar orang yang tergeletak di pinggiran jalur kini jelas terlihat, gubuk Pos 1 sudah kami lewati. Ya, kami memilih untuk melanjutkan kembali perjalanan agar segera sampai menuju camp Ranu Pani. Mengingat waktu yang sudah sangat larut membuat aku merasa harus sampai di Ranu Pani. Pikiran agar untuk bermalam di jalur menuju pos 1 pun terlintas dalam benakku. Namun aku lawan dan aku yakin bisa sampai turun kebawah.  Sekali-sekali kami berhenti untuk mengatur napas dan membasahi tenggorokan, kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi. Jalur tanah yang berkelok-kelok dan dataran yang mulai rendah membuat aku optimis kalau sebentar lagi akan sampai di pintu gerbang Selamat Datang pendakian. Genggaman erat itu membuat aku semakin kuat dan aku pasti sampai di camp Ranu Pani dan memikirkan kalau sampai sana langsung menikmati hangat dan gurihya kuah Bakso malang, hangatnya secangkir teh naga dan kembali meluruskan kaki. Ah betapa indahnya ingatan itu.
Lagi-lagi aku bergumam sendirian dalam hati “kalau boleh aku minta, jangan lepas tangannya sampe pulang. Terus kayak gini jalan beriringan. Jangan pergi lagi”atau mungkin itu adalah doa untuk perjalanan kali ini, iya hanya doa yang aku selalu panjatkan.  

Suara-suara riuh pendaki di belokan depan membuat kami yakin bahwa sebentar lagi kami telah sampai di kebun warga yang tidak jauh dari camp Ranu pani, sesekali Arief dan Ka Genk kembali berpura-pura menjadi panglima dan jendral yang sedang melakukan sebuah perjalanan mencari sebuah aksara yang hilang dari kerajaan, tertawa melupakan lelah melewati hutan yang berjam-jam kami lewati tadi, udara dingin yang menusuk tulang, menembus kegelapan, bersapaan dengan para pendaki yang lewat dan kebosanan melihat ribuan pendaki yang saling bergantian dan saling membagi jalan. kawasan hutan sudah kami lewati dan kami tinggalkan, cahaya lampu pedesaan membuat kami tersenyum sumringah dan saling berucap syukur .

“alhamdulillah akhirnya sampe juga” triak kami berempat. Terlihat beberapa pendaki yang berdiri di depan pintu gerbang, entah mereka sedang melakukan apa
“habis dari mana mas?” tanya mereka
“baru turun mas dari atas” jawab ka Genk
“mari mas duluan” sapa Pras

Genggaman tangan itu masih saja melekat, beriringan bersampingan melihat bintang dini hari ini, senyuman lepas dari kami membuat kami lega kalau kami masih diberikan kesempatan untuk kembali kerumah dan juga diberikan kesehatan untuk bekumpul denga teman-teman yang lainnya yang sudah sampai terlebih dahulu.
Menikmati keindahan bintang pagi ini dan merebahkan badan menghadap langit seakan melupakan segala kesusahan yang kami lewati tadi menjadi pilihan kami saat ini untuk melepas lelah di jalan aspal menuju camp Ranu Pani beberapa meter lagi. Bahu yang kurus disampingku seakan mempersilahkan kepala  untuk bersandar melepaskan segala kelelahan dan melupakan duka yang kami alami tadi. Semua yang kami lewati pasti ada hikmahnya. Dari awal Pras mengalami kaki yang hampir tidak bisa jalan, tergopoh-gopoh dan hampir untuk tidak melanjutkan pendakian, Ka Genk yang mengalami hal-hal ghaib di kali mati, riuhya Endut yang berebutan jalan dengan pendaki lain yang naik ke atas, aku yang mengalami sakit pinggang dan ngantuk yang dashyat semua sudah kami lewati dan kini tinggal cerita yang akan kita kemas nantinya menjadi buah tangan yang sangat indah. Menjadi sebuah kisah yang tidak akan terlupa pada perjalanan berikutnya. Ya perjalananan yang mempunyai banyak makna , banyak cerita, banyak canda, tawa dan segelintir pelajaran yang bisa kami ambil. Sesekali kami memejamkan mata untuk menikmati sejuknya dini hari ini di aspal yang dingin tapi kami harus segera menemui teman-teman kami yang sudah sampai, jangan sampai membuat mereka khawatir karena kami yang belum juga sampai.
Lantunan lagu dari beberapa rumah terdengar ketika kami melewati komplek ranu pani, warung-warung gelap di kanan dan kiri menandakan bahwa sekarang adalah jam istirahatnya orang-orang. Ratusan tenda kini memenuhi lahan yang berada di Ranu Pani yang menunggu pagi untuk pendaftaran pendakian hari ini dan beruntunglah saat kami berangkat kemarin tidak seramai dan sepenuh ini sehingga kami masih bisa bernapas lega.

Wajah-wajah lelah tampak jelas terlihat dari ka Endah, Ka Hanum dan Ka Dini yang berselimut sleepingbag. Amir langsung memberikan teh hangat kepadaku, Pras, Arief dan Ka Genk yang baru saja sampai. Memilih untuk duduk disembarang tempat rasanya membuat aku sudah masa bodo untuk memikirkan kotor atau tidaknya. Ka Genk mulai beroperasi dengan asap rokoknya yang duduk disampingku dan ah aku tidak memikirkan pula asap yang melintas di depan wajahku.

“eh kita langsung turun aja yuk, kasian ni beloman pada makan. Disini udah gada yang jualan” kata Ka Ubay
kami yang tengah kelelahan hanya mengiyakan saja usulannya itu, dan Pras langsung menarik tanganku lagi untuk ikut menuju truk yang kami tumpangi nanti. Dengan gontai aku mengikuti langkah kaki Pras dan di ikuti dengan yang lainnya, ia tahu aku sudah tampak lelah. Namun, sesekali ia membuatku tertawa dan melupakan segalanya., sesekali tawaku membuncah ditengah kelelahan dan dini hari yang dingin ini.


Semua carrier dan daypack tersusun rapi di dalam truk, kami satu persatu masuk dan duduk bersandar di dalamnya. Beralaskan matras dan tumpukkan tas yang menjadi bantalan kami membuat mata kami perlahan terpejam. Dan supir truk pun mulai menyalakan mesin truk dan gas mulai diinjak, kemudian berangkatlah kami. Udara dingin dan guncangan-guncangan kecil tak membuat aku terganggung dengan hal itu, namun sesekali pula aku membuka mata dan mebenahi posisi kakiku yang sudah mulai keram dan ditindih oleh Amir yang duduk di depanku, iya kakiku ia jadikan bantalan, padahal sepatu yang aku kenakan sudah kotor tak karuan. Namun rasa lelah itu melupakan segalanya. Melupakan alas yang kotor, guncangan truk, udara yang menusuk kulit dan gelap yang mengiringi perjalanan kami menuju Camp mas Adi di Tumpang. Seketika mata kami seperti terhipnotis tak sadarkan diri.

Camp Tumpang,
Jum’at, 6 Mei 2016

Pukul 04:00 tepat kami sampai di Camp Mas Adi. Suara-suara dari masjid pun terdengar, suara Panggilan menghadap Sang Ilahi pun terlantun indah, menandakan sebentar lagi akan memasuki waktu sholat subuh. Kami yang baru sampai langsung menurunkan barang dari dalam truk dan aku langsung bergegas masuk ke dalam camp bersama Ka Hanum dan Ka Dini. Sudah tampak carrier yang berjejeran dan para pendaki yang sedang beristirahat didalam. Ada pula pendaki yang menggelar matras di teras depan rumah dan beberapa carrier yang juga telah berjejer di dekatnya. Memberikan salam ketika masuk rumah ataupun bertemu orang adalah wajib bagi kami. perlahan kakiku melangkah, tidak mau mengganggu yang lainnya yang sedang beristirahat.

“assalamu’alaikum” kataku memberikan salam
“wa’alaikum salam” jawab mas-mas yang sedang ngopi di teras depan
“sendirian aja mas disini? Mau naik ya?” tanyaku
“iya mba mau naik, ini lagi nunggu temen aja sih” jawabnya
“baru turun banget mba?” tambahnya lagi
“iya kita baru turun jam 2 tadi, rame banget mas parah ramenya sepanjang jalan ketemu pendaki, ada juga yang diriin tenda di jalur, orang di depan pendaftaran pane aja udah banyak tenda mas” kataku menjelaskan
“waduh, kita kebagian kuota gak yah, tapi udah daftar online sih mba tapi belum ada konfirmsi kita di izinin naik atau nggaknya” katanya lagi
“waduh kalo kita sih kemaren langsung dateng aja mas ke pos pendaftran dan bla bla bla bla ....” aku mengoceh menjelaskan panjang lebar
“oh gitu, iya, enggak sih, baru” katanya menjawab pertanyaanku yang seperti wartawan gagal
“emang masnya dari mana ini?” tanyaku ramah
“saya dari bekasi mba, mbaknya dari mana?”
“oh saya dari jakarta, dari cengkareng mas” jawabku lagi
“oh dari cengkareng iya kemaren saya juga dapet kenalan dari cengkareng Cuma anaknya udah jalan duluan katanya sih”
“oh gitu iya besok sih coba aja langsung dateng mas, kalo kita kemarin di bantuin sama temen yang dari malang itupun juga masih aja ikut brifing segala” jelasku lagi
“oh adaa brifingnya juga yah, di periksain satu-satu gitu mba? Trus masalah sewa jeep gimana mba? Bla bla bla bla bla????” panjang lebar masnya melemparkan pertanyaan kepadaku. Lantas aku jawab saja sepengetahuanku, berhubung mata juga sudah ngantuk berat karena porsi tidur yang terpotong-potong di jalur dan kepala sudah mulai menepel pada meja yang masih dipenuhi dengan gelas-gelas kopi dan juga remah-remah kulit kacang.

Guncangan-guncangan kecil dan cahaya yang begitu terang menyorot mataku yang masih melekat kuat. Pras membangunkan aku dari tidur dengan cara yang benar-benar tidak manusiawi hff.
“kasian matanya Pras” triak Ka Hanum
“makan yuukk” ajak Pras
“nggggg” jawabku yang masih mengantuk
“tidur muyuuu” triaknya lagi

Tangannya yang menyangkut di bahuku langsung mendorong untuk keluar gerbang rumah

“mau makan apa?” tanyanya lagi
“apa aja aku mah bebas” jawabku lagi
“tapi waktu itu aku makan di warung nasi pecel yang ada gorengannya di sebelah sana, aku masih inget. Apa mau disana aja?” tambahku lagi
“yaudah kita temuin anak-anak dulu aja” katanya lagi

Kami menyusuri jalan gang Limo menuju sebrang yang tampak tukang penjual pecel dan juga soto. Gusli yang tampak sumringah membawa kantung plastik berwarna merah berisi beberapa buah nasi bungkus

“bawa apaan dang?” tanya Pras
“bawa nasi pecel nih, jatah lu berdua” jawabnya
“emang gabisa makan disana aja?” tanyaku
“bisa tapi gak ada piringnya” jawabnya lagi
“yaelah yaudah makan pake kertas nasi juga jadi” tambah Pras

Gusli pun berbalik arah menuju warung nasi pecel seberang tadi, dan disana sudah ada Arief, Maul dan bang Ickoy. Namun aku berbelok arah untuk membeli gorengan di warung samping sekolah Sd Tumpang. Dengan harga Rp.5000 aku bisa membawa 7 buah gorengan yang ukurannya cukup lumayan besar. Mungkin kalau di Jakarta, harga gorengan dengan ukuran sebesar itu adalah Rp. 2500, huaah malang ini memang benar-benar kota yang di rindukan. Selain harga makanan yang murah meriah orangnya pun ramah-ramah, ya salah satunya adalah mas Yayan itu.

“kok lu balik lagi dang?” tanya Arief yang menikmati sebatang rokoknya
“iya ni pada mau makan disini katanya, yaudah gue ikut aja”

Gorengan yang aku beli tadi pun menjadi sasaran empuk untuk dicampur ke dalam nasi pecel. Sarapan pagi ini begitu nikmat, apalagi ada mas-mas jagoan disampingku yang sedang melahap nasi pecel dengan khidmat tanpa mau diganggu. Cerita perjalanan kami menjadi trending topik pagi ini sambil ditemani dengan nasi pecel dan segelas teh naga hangat khas Malang. Gelak canda dan tawa membuncah kesejukan pagi ini di Kota Malang, kepulan-kepulan asap rokok yang menjadi udara tak sehat pagi ini tidak kami hiraukan, yang kami tahu pagi ini indah, pagi ini adalah suatu nikmat yang Rabb kami berikan agar kami selalu beryukur.

Sebuah cerita di halaman belakang

Seselesainya kami memenuhi perut kami dengan nasi pecel super murah di Tumpang ini, kami menikmati setiap hembusan angin dan cahaya matahari yang berirama pagi di belakang halaman basecamp mas Adi. Halaman belakang basecamp yang sangat homey dan sejuk membuat kami betah berlama-lama duduk santai disini. Terlebih lagi ada dua buah rumah panggung tanggung yang menjadi tempat peristirahatan para pendaki kalau di dalam sudah tidak ada tempat lagi. Bukan hanya itu, ada juga bangku-bangku bambu beserta mejanya sebagai tempat untuk bersantai sambil menikmati secangkir kopo hangat.Terlebih ada beberapa tumbuhan dan binatang piaraan seperti kucing anggora yang dilepas bebas oleh pemiliknya, ayam dan juga burung kicau yang dikurung disalam sangkarnya. Untuk seukuran basecamp seperti ini menurutku memang sudah paling pas dan sangat nyaman. Toiletnya pun lumayan bersih, sehingga membuat kami yang menumpang di basecamp ini juga menjadi nyaman untuk membersihkan badan .

Diantara tumpukan-tumpukan carrier kami mulai menyender asal dan saling bertukar cerita. Namun ada satu cerita yang kami tunggu-tunggu dari seorang Ka Genk yang mengalami hal ghaib di kali mati kemarin sore. Aku, Areif, dan Maul menunggu Ka Genk untuk memulai ceritanya, sedangkan Pras sudah mulai ndusel-ndusel carrier mencari posisi enak untuk tidur. Dan dari sini cerita Ka Genk di mulai.

Berawal ketika Ka Genk mengantar Arif turun kembali ke kali mati,

“pas gue nganter si Arief, gue udah ada niatan balik lagi. Gue udah ancang-ancang waktu, kalo seandainya gue turun Cuma setengah jam trus lanjut ngetrek lagi jam 2 gue bisa ngejar elu pada” katanya sambil membakar sebatang rokok.

“pas sampe kali mati, gue udah siap-siap jalan, bingung gue mau berangkat apa enggak yaudah akhirnya gue jalan sendirian. Nah pas udah mau sampe batas vegetasi, gue ngeliat ada dua pendaki yang lagi istirahat (cewek cowok). Gue liat ini ceweknya kayaknya lagi sakit ya trus gue tanya kan kenapa. Eh tiba-tiba cowoknya minta tolong sama gue buat bantuin mapah ini cewek turun kebawah, cowoknya minta tolong sama gue sampe tiga kali ngomong buat nganterin mereka turun” tambahnya lagi dengan kepulan asap di mulutnya.

“gue waktu itu belum ‘iyain’ si cowoknya ngomong, gue masih diem. Gue udah kepengen banget muncak, gue yakin kalo gue bakalan bisa nyusul lu pada di punggungan, disisi lain ada orang yang minta tolong sama gue. Akhirnya ya gue tanya ke cowoknya, kalo ini cewek sakit apaan. Si cowoknya bilang kakinya sakit, trus gue minta bukti kalo ini beneran sakit, gue ngerasa jahat banget itu disitu sampe minta bukti kalo ceweknya sakit beneran” tambahnya lagi

“di kaki si ceweknya ini ada luka, tapi lukanya lama-lama ngelebar dan emang kayaknya nih si ceweknya udah gak bisa berdiri lagi, mukanya udah pucet, bibirnya juga udah pada biru, yaudah akhirnya gue bantuin mereka berdua turun. Gue bopong ini cewek berdua sama cowoknya turun ke bawah, pas udah hampir deket kali mati, kayaknya ini ceweknya udah gakuat banget buat jalan. wah gue pikir kayaknya ini mesti di gendong kan daripada makin nyusahin. Si cowoknya juga sama-sama lagi sakit, jadi gak mungkin kalo kita jalan dalam keadaan kayak gini” lanjutnya

“tapi sebelum gue gendong si ceweknya, gue juga minta izin dulu sama si ceweknya yang mau gue gendong sama cowoknya juga, gue bukannya mau aji mumpung ya, tapi daripada kasian si cewenya juga. Si cowoknya sampe nanya gue kuat apa enggak, ya gue jawab ‘kita coba aja dulu’” tambahya lagi dengan raut wajahnya yang serius

“sedih sih gue dijalan, mikirin kalo gue udah yakin banget kalo gue bisa muncak, tapi ya gimana di depan gue ada orang yang harus banget dibantuin. Masa iya gue tega ngebiarin mereka dijalur dalam keadaan sakit. Mana gak ada lagi orang selain gue” kata Ka Genk dengan raut wajah setengah menyesal dan setengah iba.

“gue gendong ceweknya sampe tenda mereka, sampe cowoknya bilang ‘rumah lu dimana bang? Nanti gue samperin elu kerumah, duh gue utang budi banget sama lu ni’ trus ya gue gaenak ya niat gue kan nolongin gak minta apa-apa ya gue Cuma ngasih patokan-patokan gang rumah gue aja, sampe cowoknya nih bilang ‘ohiya gue tau banget kawasan kosambi mah, nanti gue cari bang’, udah dari situ gue langsung masuk tenda, ya sempet ngeluarin air mata juga sih gue. Gue udah kepengen banget muncak, udah yakin banget bisa ngejar eh ya emang belum rejekinya kali ya muncak” katanya sedih

Aku dan Arief yang mendengarkannya pun ikut terharu dan mataku mulai mengembang menahan tangis. Bagaimana tidak sedih, ketika rasa keinginan kuat untuk muncak dan sangat yakin kalau kita bisa sampai puncak malah justru ada sesuatu hal yang tidak kita inginkan, dan itu membutuhkan pengorbanan dan jiwa besar untuk melakukan hal yang ka Genk lakukan. Benar seperti apa kata voulenteer yang membrifieng kami ketika di Aula Ranu Pani, untuk menolong seseorang ketika di jalur menuju puncak itu butuh jiwa besar dan pengorbanan yang kuat, walaupun kita harus merelakan keinginan kita.

“sabar ka Genk, nanti dilain waktu pasti muncak, digantiin sama yang lebih baik lagi. Aaak ka Genk keren” teriakku
“iya lu kalo udah sakit di jalur gitu kan gaenak juga” timpal Arief
“trus yang ka Genk balik lagi ke sumber mani itu ngapain yang abis pingsan?” tanyaku polos
“itu kincringan dari mana ka Genk?” tanya ku penasaran
“ah kalo itu sih gabisa di ceritain, ada masalah pribadi, pokoknya mah sedih gue gakuat ah nyeritainnya” jawabnya lagi
“ya intinya sih, kita kan dateng ke gunung ini sebagai tamu, itu Cuma masalah etika aja ketika di gunung, cara gue pas kemaren ke sumber mani pun bener kok, sikat gigi jauh dari mata air, gue Cuma gamau ngotorin sumber kehidupan manusia aja di gunung. Air itu orang banyak yang gunain. Tapi masalah gue balik ke sumber mani lagi bukan itu masalahnya, gak bisa gue ceritain neng” kata pria yang lebih tua 6tahun dariku (Ka Genk) haha
“iya lu Ka Genk serem banget tau-tau ngedehem, mana tidur udah kayak orang mati. Tau-tau bangun dikasih makan Cuma sedikit, malah si badag noh yang ngabisin (Maul)” timpal Arief
“iya lu Ka Genk jangan kayak gitu lagi, serem tau. Gue sama Ka Dini sampe pelukan di depan depan hahaha panik abisan baru kali ini ngalamin sampe kerasukan gitu” kataku terkekeh
“iyaa gue juga kaget kan pas baru balik tau-tau lu udah begitu aja, baru kali ini gue juga ngalamin yang kayak begitu” sahut ka Dini.

Alam memanglah Tuhan yang ciptakan, tapi bagaimanapun juga setiap tempat memang ada yang menghuni dan menjaga dan manusia hanya bisa merusak, bisa juga menjaga alam. Namun disisi lain kita tetaplah harus menghormati alam. Mereka juag butuh nafas, mereka juga butuh di hargai, jangan sampai karena keinginan kita yang hanya ingin menikmati dan berselfie membuat kita lupa untuk melestarikan alam. Alam ini adalah milik kita, kalau tidak menjaga hutan mungkin tidak ada kehidupan. Jadilah manusia yang merawat bukan merusak.

Cerita hari ini menjadi memori dan sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk kami, bahwa bukan hanya manusia saja yang ingin di perlakukan secara hormat, bahkan alam pun juga ingin di hargai sebagai mana mereka telah banyak berkontribusi bagi kehidupan kami.

Para pendaki yang akan mendaki pun satu-satu mulai meninggalkan basecamp , tinggal kami berempatbelas dan juga beberapa pendaki lain yang masih beristirahat disini. Antrian toilet menjadi ramai dengan pendaki yang mulai membersihkan diri untuk kembali kerumah. Termasuk kami yang juga bergantian mengantri toilet untuk mandi. Jika badan sudah tersentuh air akan segar kembali, karena memang tubuh kita ini juga punya hak untuk di bersihkan, bayangkan saja sudah hampir 4 hari kami tidak mandi, tubuh lengket dan aroma-aroma tidak sedap mulai menggerayangi. Jangankan orang yang mencium aroma tidak sedap ini, diri sendiri saja sudah malas dengan badan sendiri, andaikan badan ini seperti baju, mungkin badan ini bisa kami lepas untuk sementara menghilangkan baunya.

Cuaca panas yang di iringi dengan hembusan angin membuat mata mengantuk setelah mandi tadi, rasanya ingin merebahkan badan saja dimanapun tempatnya agar aku bisa bersandar. Mondar-mandir tidak jelas seakan salah tingkah seperti ketahuan selingkuh, bahkan lebih dari itu. Ka Hanum dan Ka Ubay yang sibuk mencari-cari tiket untuk pulang, Gusli yang sibuk meminta foto pada orang-orang yang menyimpan fotonya, Ka Endah yang juga sibuk mencari informasi tentang pekerjaannya dan ka Dini dan Endut yang sudah terlelap tidur dan tergeletak di lantai membuat aku semakin pusing mau berbuat apa. Pras mungkin sudah entah kemana terbang bersama mimpinya walaupun ia tertidur sembarang di depan bersama tumpukan carrier. Udara panas membuatku semakin tak karuan, tidak ada kipas angin disini, aku sudah seperti ikan yang kehausan dan dijaring ke daratan. Panas dan kering. Satu posisi enak, aku langsung tertidur pulas!.

Yang saat ini dipikirkan dalam benak adalah, berada di depan kipas dengan angin kencang yang membuat baju dan keringat menjadi kering. Tidur beralaskan karpet seadanya saja sudah sangat bersyukur, tak lagi memikirkan bagaimana nanti pulang. Yang ada hanya butuh tidur. Itu saja tidak ada yang lain.

Suara riuh menahan lapar dan hawa panas membuat wajah dan leher tergenang oleh keringat yang bercucuran. Tampak Pras yang sudah berganti kostum dan sibuk dengan ponselnya. Lantunan lagu sheila on7 pun memecah kesunyian siang ini seakan membuat mereka kembali bersemangat di setiap lirik lagunya. Ka Dini dan Endut yang tengah terlelap tadipun juga sudah bangun. Tak lama kemudian Ka Hanum mengajak kami untuk mencari makan lalu Gusli langsung memberikan daftar menu makanan beserta harganya

“mie ayam harganya 6ribu, es campur harganya tigaribu, mie ayam bakso harganya delapanribu” katanya yang dengan semangat mengajak kami untuk mencari makan
“yaudah yuk kita makan” sahut ka Hanum

Aku dan yang lainnya pun mengiyakan ajakan ka Hanum yang langsung menuju ke tempat makan yang Gusli sebutkan tadi. Sebuah kedai sederhana yang berdiri di pinggir jalan menjadi pilihan kami untuk mengisi perut. Ada Arif, Amir, Aziz dan ka Genk yang juga sedang makan. Es campur yang sedang Arif nikmati pun menjadi sasaran tembakku kali ini, rasanya melambai-lambai agar memintaku untuk melahapnya. Ah memang cocok siang-siang seperti ini menikmati segarnya es campur. Mie ayam yang telah kami pesan langsung kami lahap. Untuk seporsi mie ayam tanpa bakso di malang ini hanya seharga Rp. 6000,- kalau di tambah dengan bakso menjadi Rp.8000,- dan untuk semangkuk es campur kumplit hanya seharga Rp.3000,- sangat murah dan beda jauh dengan harga mie ayam di jakarta. Dan lagi-lagi kita di traktir Ka Hanum.

“ini jualan harga murah apa gak rugi ya mereka?” tanya Arief
“enggak dong, kan disini semua harga murah-murah, beda kebutuhan sama di jakarta yang serba mahal rif” kataku yang sok tau

Setelah selesai mengisi perut yang kosong, kami kembali ke basecamp untuk mengemas kembali perlengkapan yang sudah tidak beraturan. Sementara itu Endut mencoba untuk mencari nomer angkot yang kemarin mengangkut kami menuju pasar tumpang. Setahuku nomer supir angkot yang mengantar kami kemarin Pras yang simpan. Lalu Pras pun langsung membuka panggilan keluar dari ponselnya, setelah menebak-nebak nomer yang ada di ponsel Pras, akhirnya satu nomer kami dapatkan dan tak lama-lama Endut pun langsung mencoba menghubungi nomer tersebut dibantu oleh ka Dini. setelah telpon di angkat oleh yang empunya nomer tersebut, Endut dan Ka Dini langsung meng-halo-kan panggilan tersebut.
“halo?? Ini bang junet ya? Haloo haloo” sahut Ka Dini yang berdiri sambil memegang ponselnya
“haloo bang junet, bisa jemput kita gak bang?” kata Endut yakin
“apaaa?? Pak jenggot? Oh salah yaa? Yaudah maaf ya” kata Endut langsung mematikan ponsel
“Pras nomer bokap lu ni” kata Endut setengah kesal
“hah? Nomer bapak gua?” kata Pras bingung
“yeeee elu nomer bapak sendiri gak tau, yaudah gue nyari angkot dah ke depan. Crut nanti kalo ada telpon masuk bilangin gausah gitu ya, gue aja yang nyari angkot. Pling lu mau ikut gak?” kata Endut panjang lebar yang langsung nyelonong keluar bersama Arief. Sementara aku masih berusaha mencari nomer telpon bang Junet dengan meminta dari mas arif supir jeep. Mungkin saja ia punya nomerya Bang Junet, namanya juga usaha kalo kita gak coba gak akan tahu kan?. 

Setelah mendapatkan balasan sms dari mas Arif dan mendapatkan nomer bang Junet, aku langsung menyusul Endut dan Arief yang mencari charteran angkot, setengah berlari aku mengejar mereka takut kalau mereka sudah mendapatkan Charteran angkot. Sambil berlari-lari kecil aku mencoba mereka, selangkah keluar gapura Gang Limo ternyata aku dapati Arief dan Endut yang sedang jajan cemilan khas malang. Sempooooll. Awalnya aku agak sedikit kesel sama mereka tapi kayaknya kalo di icip dikit gak bikin dosakan hehe.

“ndut, buseh gue kira udah jalan ke depan nyari angkot, gataunya masih disini” kataku sambil melihat Endut ngemilin sempol
“crut jajan dulu nih, enak nyesel lu gak nyobain” sahut Arief yang sedang menunggu sempol yang tengah di goreng
“bawa ademlaah jajan dulu nih enak” timpal Endut sambil mengunyah sempol yang penuh di mulutnya
“coba sini gue cobain, berapaan harganya berapaan?” kataku sambil menarik satu tusuk sempol yang ada di tangan Endut
“gopean crut, ni gue tambah lagi deh sempolnya biar lu nyobain” sahut Arief lagi
“eh gue udah apet nomer bang junet nih, lu yang ngomong nih” kataku ke Endut yang masih sibuk ngunyah sempol

Endut langsung mengambil ponselnya di kantong dan menelpon bang Junet, tak berapa lama kemudian telpon diangkat dan Endut dengan nadanya yang khas (setengah triak) di telpon masih meng-halo-kan telpon tersebut karena sibuk dengan sempol yang berada di tangannya. Aku langsung meraih ponselnya dan mencoba mendengarkan setia perkataan di ponsel “oh gitu, ke gang limo, gak bisa ya?  Oh jadi mesti naik angkot putih dari pasar tumapang? Yaudah kalo gitu makasih ya bang” kataku sambil menutup telpon

“eh gabisa nih, kita mesti nyari angkot ke pasar katanya”
“yaudah crut kita jalan aja ke pasar nyari angkot” sahut Arief yang sama seperti Endut sambil menyuapi satu persatu sempol.

Sempol adalah makanan yang terbuat dari sagu dan juga terigu yang berbentuk panjang, dan cara memasakknya dengan cara di goreng lalu di lapisi oleh telur ayam yang di aduk dan ditambahkan sedikit garam. Makanan sempol memang tampak sederhana, tapi rasanya sekali gigit bikin nagih hehe. Nah wajib tuh kalau main-main ke malang, nyobain sempol yang harganya murah meriah. Satu tusuk sempol harganya Rp. 500,-

Aku, Arief dan juga Endut langsung menuju pasar Tumapang untuk mencari-cari angkot. Berjalan sambil menikmati sempol dan sejuknya kota malang ini adalah suatu momen yang harus di rasakan. Di sepanjang jalan menuju pasar Tumpang, kami bertemu para pendaki yang baru turun dari semeru, iya aku ingat sekali wajah-wajah para pendaki yang baru turun, sebab sewaktu di Kali Mati aku melihat salah satu teman mereka yang rambutnya pirang berbarengan mengambil air dengan Ka Genk waktu itu. Langkahnya yang gontai membuat kami ingat ketika kami juga akan turun. Wajah-wajah lelahnya menandakan mereka memang baru turun mendaki, kusam dengan rambut yang tidak beraturan.
Satu persatu angkot putih kami lewati, tidak ada supir di dalam angkot sepanjang kami melewatinya. Beberapa meter kami melewati angkot kosong itu, ternyata ada seorang laki-laki yang juga akan menuju stasiun Malang.

“masnya mau ke stasiun?” tanyaku ramah
“iya mba mau ke stasiun”
“nah kita juga sama nih, tapi saya berempat belas, mesti charter dua angkot. Masnya mau gabung gak sama kita?”kataku lagi menawarkan
“boleh tuh mba” katanya mengiyakan
“oke kalo gitu, masnya kereta jam berapa? Satu angkot harganya 130.000 nanti masnya gabung sama temen kita disana ya, gimana?”
“tuh mas bareng aja sama mbaknya, kan tadi mas nawar 100.000 berempat, nah ini mbaknya mau ngajak bareng mending ya bareng aja toh” kata pak supir meyakinkan
“ehm yaudah deh pak, tapi temen saya disana” kata masnya yang tadi menunjuk arah selatan
“nah temen kita di gang limo pak, gimana kalo jemput temen-temen saya dulu” kataku lagi
“crut gak ke mahalan harga segitu?” tanya Endut
“enggaklah ndut, harganya kan sama kayak waktu kita berangkat” jawab ku
“enggak pea ndut, kan kita berempat belas nanti sisana ya patungan” sahut Arief sambil menenggak air

lalu Endut masih tampak bingung memikirkan harga “ah yaudah yuklah” gumamnya. Kami naik tanpa banyak protes, mobil melaju kearah gang limo menjemput teman-teman yang sudah bersiap pulang. Sesampainya di basecamp, carier-caririer langsung di masukkan kedalam angkot , tersusun rapih. Satu-satu dari kami masuk dan angkotpun melaju menuju stasiun .

Stasiun Malang tampak begitu ramai dengan para wisatawan yang akan kembali ke kota mereka masing-masing, hilir mudik angkutan umum dan taksi menurunkan para wisatawan yang sudah mulai sibuk dengan tentengan yang mereka bawa. Kanan kiri tangan mereka di penuhi dengan buah tangan untuk keluarga dan orang-orang terkasih dirumah, rasa bahagia setelah menghabiskan waktu liburan panjang ini mereka kemas dan harus kembali ke dunia nyata. Dimana hari-hari biasa akan di sibukkan dengan urusan kantor dan kepentingan lainnya.

Kami masih menunggu informasi tiket  Malang – Jakarta yang berangkat sore ini. wajah-wajah sibuk tampak terlihat dari Ka Hanum, Ka Ubay dan Ka Dini yang berusaha mencari tiket kereta untuk kepulangan kami. Tapi tidak dengan ka Endah yang khawatir takut tidak kebagian tiket kereta hari ni. Sebab, ka Endah harus sudah sampai Jakarta pagi besok dan harus bekerja pada malam harinya. Namun dalam situasi yang seperti ini ka Endah masih tetap staycool dan terlihat santai.

Kota Malang yang tidak Malang, bahkan dirindukan oleh para semua orang, baik dari orang-orangnya, tempat wisatanya, harga jajanannya semuanyapun ramah. Membuat aku betah berada di kota ini. Arief dan Endut tampak begitu sibuk mengumpulkan uang dua ribuan untuk membeli makanan, lagi-lagi sempol menjadi makanan favorit kami saat ini . Amir, ka Endah dan aku mengeluarkan uang duaribuan dan diberikan kepada mereka. Dengan langkah cepatnya mereka menuju ke arah barat stasiun malang menghampiri penjual sempol yang mangkal tepat di depan pintu gerbang kedatangan. Satu persatu sempol di masak ke dalam panci berisi minyak panas dan di buliri dengan telur sampai matang, setelah sempol matang, bisa di campur dengan saus sambal ataupun dengan saus tomat. Sesuai selera saja. Penjual sempol pun beragam, ada yang menjalankan usahanya sendiri dan ada pula yang mengambil dari orang dengan sistem pembagian hasil. Untuk setia harinya penjual sempol bisa mengabiskan 2000 s/d 5000 tusuk sempol, walaupun harga satu tusuk sempol Rp. 500,- mungkin bisa saja untung yang di dapat bisa lebih besar terlebih banyak sekali yang menyukai sempol di malang ini. penjual sempol bisa di temui dimana saja selama di malang, di pusat keramaian kota, di pasar, di pinggir jalan dan ada juga yang berjualan di sudut taman kota malang. aku dan Arief kembali menemui teman-teman di halte depan taman kota malang, Endut yang sudah duluan kembali ke halte kini tampak sedang duduk santai bersama Amir di halte, begitu juga ka Endah yang masih sibuk mencari informasi ketersediaanya tiket kereta.
Aku masih belum puas menelusuri jalan-jalan di sekitaran stasiun malang ini, karena banyak dari teman-teman yang lainnya pun berpencar, termasuk Pras yang hilang entah kemana. Mengajak Amir berkeliling sebentar ke taman rasanya tidak salah kan. Amir mengiyakan ajakanku yang mulai menjamur menunggu yang lainnya. Kami menelusuri pinggiran jalan taman, tampak seorang ibu dan anaknya yang sedang berfoto ria di depan patung Ongis Nade ikon kota malang, ya Ongis Nade adalah kebalikan dari Singo Edan yang entah apa artinya. Mungkin saja ada sebuah historis dibalik nama itu, aku belum mencari tahu. 

“mir enaknya sih sekalian nyari masjid ya”
“iya coba kita cari aja nanti kesana” kata Amir sambil menunjuk ujung jalan
“ternyata enak juga ya ada taman bermain anak-anak gini, ya walaupun gak terlalu gede sih tamannya”
“iya lumayan juga buat refreshing kalo lagi gak punya duit” tambah Amir
“hahaha iya bener juga sih, sambil baca buku sama ngopi” tambahku lagi . tiba-tiba aku langsung membayangkan kalau yang jalan berdua denganku bukanlah Amir, tapi ah sudahlah...
“eh ti gue ngerokok gak apa-apa ya, jangan suruh gue buat nelen asep” kata Amir yang tengah ketakutan karena aku larang merokok.
“kan ada tulisannya noh mir kawasan dilarang merokok, ya elu telen lah asepnya” kataku lagi ngotot
“yah kan ini diluar asepnya gak ke muka elu sih” katanya lagi meyakinkan
“yaudeh gue maapin kali ni yang pada ngerokok”
Harusnya momen seperti inilah yang akan menjadi ceritaku untuk yang kesekian kalinya bersama, tapi untung saja ada Amir yang bersedia menemaniku berkeliling menghilangkan rasa jenuh walaupun hanya mengitari taman di pinggiran kota malang. Selama menyusuri jalan taman, aku mendapati lagi satu cerita dari Amir tentang perjalananya menuju Argopuro, dan bukan hanya itu saja, ia juga bercerita kalau sudah beberapa tahun ini tidak kembali ke kampung halamannya di Surabaya. Hmm memang kampung halaman itu selalu di rindukan, walaupun kampung halamanku di Jakarta yang kusut dan semrawut tetap saja kota kelahiran yang menuai banyak cerita baik suka maupun duka harus tetap di kenang.
“kalo jalan sama mereka emang selalu kayak gini mir?” tanyaku
“iya, kita gak pernah beli tiket pulang, kita kan gak tau kapan turun namanya juga waktu suka ngaret”
hmm mungkin kalo disiplin waktu kita bakalan bisa ngejar kereta”gumamku dalam hati
“untung waktu ke argopuro gak ngajak cewek, kasian soalnya kita sampe tidur dulu di terminal bandung buat nunggu bis ke Jakarta”
“loh emang kalian nyangkut dulu ke Bandung?” tanyaku lagi sambil memesan Pop Ice
“iya biasa kita gak pernah beli tiket pulang pergi” jawabnya sambil mengepulkan asap rokok
“gue kalo di malang gini bawannya mau mampir ke Surabaya kerumah mbah gue, udah lama gue gak pulang. Kalau mudik pun gak pernah pas hari raya, palingan kalo gue cuti kerja aja” tambahnya lagi
“ohh lu orang Surabaya” kataku sambil menikmati segelas Pop ice cokelat
“iya gue sih besar di Jakarta, tapi pas 40 hari gue lahir udah di bawa sama nyokap gue. Eh lu kelahiran tahun berapa sih?” tanya Amir
“gue kelahiran desember 93 umur gue masih 22tahun mir” jelasku yang gak mau di bikin tua walaupun tua itu pasti
“ooh berarti lu seumuran gue dong ya, yang muda si Aziz doang” katanya lagi
“ hahaa berasa tua banget sih lu”  kataku sambil terkekeh
Langkah kaki kami masih menyusuri sudut taman ini, sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang renggang, udara sore sore yang menyejukkan, hembusan angin yang bersahutan, dan sibuknya para pejalan kaki yang akan pergi entah kemana.

Karena jarak masjid masih sangatlah jauh, kami memutar arah untuk kembali ke halte dekat stasiun. Di sepanjang trotoar jalan sudah dipenuhi dengan berbagai macam pedagang, ada martabak manis, roti cane india, roti kare khas india yang katanya penjualnya langsung dari ndia, jagung rebus, angkringan sederhana, warung kopi sampai toko-toko souvenir yang lumayan besar. Kami mendapati ka Dini, Ka Endah dan juga bang Ickoy yang berdiri di depan toko souvenir khas malang, tapi ka Dini melanjutkan jalan menuju arah timur dari toko souvenir. Tumpukan kardus yang tersusun rapi di depan pintu masuk menjadi pusat perhatianku dan Amir. Ada Aziz yang sedang sibuk memilah milih oleh-oleh untuk dibawa pulang, tak lama kemudian Pras keluar dari toko souvenir itu.
“habis darimana?” tanya Pras
“abis muter-muter sama Amir kesana” kataku sambil menunjuk taman
“oohh” katanya singkat

Lalu tiba-tiba Pras berlari terburu-buru menuju halte, sedangkan barang bawaannya ditinggal begitu saja bersama bang Ickoy. Tiket belum saja di dapat, dan kami memutuskan untuk transit dari satu kota ke kota lainnya sampai menuju Jakarta dan tiket Surabaya tujuan Semarangpun kami booking. Kami langsung menuju terminal Arjosari malang untuk naik bis jurusan malang – surabaya. Gusli dengan cepat langsung mencharter angkot dan mengangkut kami ber empat belas sekaligus menuju terminal arjosari malang. Bertumpukkan carrier yang dipaksa masuk beserta penumpangnya tidak membuat kesusahan, justru gelak tawa yang kami dapatkan selama di perjalanan menuju terminal. Ka Dini dengan perawakannya yang kecil mungilpun duduk diatas tumpukkan tas dan menjadi bahan ledekan yang lainnya. Sungguh perjalanan yang aneh haha. 

Setiap perjalanan pasti memiliki cerita yang berbeda-beda, beda orang-orangnya dan beda rasanya 

Sesampainya di terminal Arjosari, seorang bapak langsung menawarkan bis dengan harga yang murah. Rp 15.000 untuk jarak Malang – Surabaya, lalu aku meyakinkan bapak tersebut mengenai harga yang ia tawarkan, apakah memang benar dengan harga limabelas ribu rupiah itu sampai di terminal bungur asih dan tidak akan dimintai lagi ditengah jalan? lalu bapak calo ini dengan yakin bahwa harga yang ditawarkan memang benar segitu. Kami langsung mengiyakan tawaran si bapak dan justru si bapak tadi malah menyarankan untuk turun di Joyoboyo karena jaraknya dekat dengan stasiun pasar turi. Carrier langsung diturunkan dan ditumpuk asal di depan terminal. “mas Bisnya berangkat jam delapan limabelas ya, gimana?” tanya si bapak lagi “yaudah pak gapapa” jawab Ka Ubay. Carrier yang berceceran tadi kami pindahkan dipinggiran dan disenderkan di dekat tiang listrik.

Aku melihat ka Genk yang berjalan gontai menuju arah SPBU disamping terminal . “ka Hanum liat ka Genk gak?” tanyaku ke ka Hanum yang asik berdiskusi dengan ka Dini dan Ka Endah, “itu katanya sih mau ngisa, tuh kesana” tunjuk ka Hanum heran, “oh mau sholat Isyaaa” jawabku. Akupun langsung menuju ke SPBU dan benar saja, Ka Genk langsung mengambil posisi khusyu dan akupun mengiringinya menjadi ma’mum. Tampak seorang bapak yang sedang khidmat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mushaf yang ia pegangnya, sambil berdoa akupun mendengarkan ia mengaji, sejuk didengar walaupun suaranya terdengar hambar, namun seberapapun jeleknya suara orang itu ketika melantunkan ayat-ayat suci, tetap saja enak didengar. Hati terenyuh dan seakan merasa malu karena beberapa hari ini meninggalkan mushafku di kamar, mungkin saja sudah berdebu. Ya Rabb maafkan aku. Setelah selesai menunaikan sholat wajib, aku melanjutkan untuk mengqodo sholatku yang tertinggal dua hari kemarin, suara-suara lantunan itu masih terdengar di telinga dan setelah tahhiyat akhir tiba-tiba Aziz mengagetkanku yang harus buru-buru karena bisnya akan berangkat. Setelah salamku selesai aku langsung menghampiri ka Genk dan Aziz yang tengah menikmati sebatang rokoknya itu “ loh katanya berangkat jam delapan?” tanyaku sambil cengengesan. “iya noh si Aziz salah informasi” jawab ka Genk.

Suara-suara kernet yang menarik para penumpang yang tidak ada habisnya ini membuat ramai terminal, suara-suara mesin bis yang melaju perlahan mulai meninggalkan terminal. Aku menghampiri Pras yang tengah asyik dengan ponselnya, lalu memperlihatkan isi chattingannya dengan Ka Hanum “Pras tanya listy mau kebab gak?” lalu aku pun membalas “enggak ka, masih kenyang hehe” kataku. Lalu aku langsung meninggalkan Pras yang tengah asyik merebahkan badannya ditumpukkan tas sambil sibuk dengan ponselnya. Aku mencari posisi enak agar aku bisa memejamkan mata sebentar saja sambil menunggu bis datang. Suara teriakan-teriakan obrolan dan tawa orang disekitar sayup-sayup terdengar. Rasa lelah itu kembali datang, terlebih keringat yang sudah mulai bercucuran dan membuat lengket badan. Tidak ada angin yang berhembus malam ini, suasana panasnya kota terasa disekitaran sini mungkin karena kepulan asap yang keluar dari knalpot bis membuat terminal ini menjadi panas.

Samar-samar aku mendengar suara Pras yang mulai mencariku, entah ini mimpi atau bukan, ketika aku membuka mata ternyata sudah tampak manusia jangkung berdiri di depanku, menanyakan aku mau makan atau tidak. Yang aku butuhkan saat ini Cuma tidur. Mungkin kamu mau jadi relawan meminjamkan bahu supaya tidurku pulas?.
Bis yang kami tunggu-tunggupun datang, satu-persatu carrier dimasukkan ke dalam bagasi kami semua masuk ke dalam bis yang berfasilitas Ac dan ruangan agak luas agas penumpang merasa nyaman. Saat ini bukanlah saatnya untuk bicara panjang lebar, aku langsung duduk di sebelah seorang perempuan muda dengan kardus yang ada di tangannya. Kemudian tanpa berlama-lama aku melanjutkan tidur yang tertunda. Bis melaju kencang, lampu di matikan dan sudah tidak ada lagi suara riuh-riuh kernet yang memanggil-manggil penumpang, yang ada hanya kernet yang menagih uang jasa angkutan disini. Satu persatu uang diambilnya. Sayup-sayup mataku mulai mengerang, aku melemparkan pandangan ke arah sebelahku yang ternyata sudah ada Pras yang tepat berada di sebelah kananku. Aku pikir ia duduk dibelakang ternyata tidak. Rasa lelahnya tampak dari raut wajahnya yang pulas. Aku palingkan wajahku ke belakang, ada Ka Genk yang masih segar melihat pandangan jalan kanan dan kiri. Sementara yang lainnya sudah tidak sadar dan pikirannya melayang entah kemana.

Teminal BungurAsih

yang bungurasih siap-siap turun, barangnya hati-hati”

 kata kernet kepada penumpang agar bersiap-siap untuk turun. Aku terbangun dan juga dengan yang lainnya. Semua penumpang yang ada di bis mulai kerepotan dengan barang bawaan mereka. Bis kembali melaju kencang mengarah ke terminal Joyoboyo.  “ini masnya mau kemana?” tanya kernet bis, “mau ke pasar turi pak, kita turun di joyoboyo” jawab ka Ubay. Sesampainya di Joyoboyo, kami semua turun beserta barang bawan kami. Sepinya kota dan lampu-lampunya seakan membuat tenang tak tampak suatu kota besar yang sibuk. Tak ada gemerlap indahnya ketika siang hari, tak ada keramaian kota, hanya tinggal kami berempatbelas disini bersama angkot-angkot yang mulai berjejer rapi yang sedang di istirahatkan agar mereka bisa dipakai esok hari membantu sang pemilik menyari nafkah. Kepulan-kepulan asap dari para laki-laki sedang menunggu angkut pun menyeruak ke udara, dihisapnya kedalam mulut lalu mereka keluarkan dari dalam hidung, kenapa tidak dikeluarkan dari telinga saja? Atau ditelan bersama racun-racun yang masuk kedalam tubuh mereka sendiri tanpa menulari berbagai racun yang masuk pada tubuh kami yang tidak ikut mengisap racun itu. Ya nikotin!
“mas mau kemana?” tanya supir angkot yang melintas di depan kami bersama seorang wanita di dalamnya. “Mau ke pasar turi mas” kata bang Ickoy langsung menghampiri. Negosiasi harga kembali dilakukan agar mendapatkan harga semurah mungkin. Supir sepakat dengan harga yang ditawarkan, dengan harga Rp.60.000,- dan kami langsung saja masuk kedalam angkot yang lagi-lagi penuh sesak dan berhimpitan.  Tidak ada percakapan panjang ataupun hanya sekedar candaan, kami lelah ingin cepat-cepat sampai stasiun dan merebah lelah rasanya.



Pasar turi yang masih sama ketika aku datang ke kota ini, tapi tidak sepanas siang itu ketika aku tergopoh-gopoh membawa carrier dipunggungku. Pasar turi tampak sejuk dan bersahabat. Semua carrier kembali diturunkan satu persatu bersama orang-orang yang menyesakkan di dalam angkot. Semua turun dan langsung menjauh dari angkot itu karena kegerahan. Lagi-lagi aku hanya diam malas bicara, karena sudah terlalu pekat keringat yang melekat pada tubuhku ini. persediaan bajuku sudah tidak ada lagi. Hanya sisa yang melekat pada badanku saja.
Kami langsung masuk kedalam stasiun, suara teriakan-teriakan Gusli yang bercanda tidak jelas memecah kesunyian malam ini. aku memilih untuk banyak diam dan langsung mengikuti langkah mereka, wajah sudah kusut rasanya selalu ikut. Ah apa-apaan ini. ya Rabb tolonglah hembuskan angin sekuatnya agar aku tidak lagi kepanasan bak ikan asin yang sedang dijemur diantara teriknya matahari. Sesekali angin itu lewat dan aku menikmati walau hanya beberapa menit saja.
Langkah gontai kami berakhir di kursi pengunjung di depan stasiun, tubuh semakin mudah dijatuhkan karena lelahnya perjalanan. Ada yang tetap duduk di kursi penantian, ada yang mengarah ke circle untuk merokok, ada yang mencari makan. Dan lagi-lagi Pras melemparkan pertanyaan “mau makan gak? Makan yuk” katanya begitu. Aku yang sedari tadi menahan lapar akhirnya ikut saja dengannya. Bang Ickoy, Endut, Ka Genk, Gusli, Pras dan aku yang mengarah ke pintu gerbang belakang stasiun mencoba memilah-milih makanan apa yang cocok untuk perut kami. “soto kayaknya enak, pecel kayaknya enak, ini enak dan bla bla bla” dan pilhan Pras dan Ka Genk adalah soto sementara bang Ickoy dan Endut lebih melihat-lihat menu makanan apa saja yang masih tersisa. Sedangkan aku dan Gusli mengikuti apa kata Pras dan Ka Genk. Warung soto yang tampak sederhana dan penjual yang sudah hampir setengah abad umurnya perlahan menyajikan soto untuk kami, “pak jangan pake jeruk nipis ya” kata Pras lalu tidak dihiraukan karena mungkin matanya sudah mulai mengantuk. Jelas saja pukul 03:00 pagi kami masih berkeliaran dipinggir jalan. untuk takaran harga soto Rp. 12.000,- sangat lumayan rasanya Cuma kurang hangat saja. Kami semua sudah malas berdebat, suapan demi suapan sudah masuk kedalam mulut. Habislah sudah soto tadi masuk kedalam perut.

setelah membayar soto si bapak tua tadi, kami kembali kedalam stasiun, dengan perut yang kenyang membuat perasaan kami kembali riang.
Di depan Circle ada Maul yang tengah sibuk dengan ponsel dan beberapa chargeran di sampingnya. Gelas-gelas kopi kini memenuhi meja dan juga asbak yang mulai di kotori oleh abu-abu rokok. Kepulan asap kembali membuat sesak tapi mereka tidak peduli walaupun aku mulai terisak oleh kepulan asapnya.  Pras yang duduk disampingku mulai menikmati setiap isapan-isapan rokok ditangannya, tertawa renyah bersama yang lainnya, menyeruput secangkir kopi seakan malam ini hanya miliknya saja. Mata sayunya seakan memaksa dia agar tetap terjaga. Bercerita kembali dan mengulang-ulang tragedi yang kami alami selama pendakian. Walaupun rasanya aku mulai kegerahan karena kepulan asapnya, tapi rasanya aku tidak mau beranjak dari tempat duduk disampingnya. Mungkin kamu tau sedang aku perhatikan. Walaupun lelah ia masih saja menyempatkan diri untuk tersenyum. Ah, ini yang aku suka dan beta berlama-lama dengannya. Sederhana bukan?

Perut rasanya ingin sekali berlama-lama di toilet dan membuang semua isinya, aku langsung saja meminta temani ka Endah yang sedang bersantai bersama ponselnya. Untungnya saja dia mau. Endut bilang Ka Endah adalah orang yang paling santai dan ‘bawa adem’ dalam kondisi apapun, tapi aku tidak mengambil keuntungan dengan ‘bawa adem’nya itu. Kalau tidak diantarpun tidak masalah. Kami menyusuri ujung jalan stasiun dan menemukan toilet yang tidak dipisahkan antara laki-laki dengan perempuan. bau pesing yang sangat menyengat tercium dari radius lima meter. Aku memilih untuk mencari toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. tidak jauh dari toilet tadi, aku bertanya pada petugas stasiun yang sedang bertugas, katanya ada toilet di dalam stasiun tapi harus pakai tiket, dan Ka Endah seakan menghipnotis petugas tadi bahwa kami akan segera kembali dan memang sedang menunggu kereta besok pagi. Petugaspun langsung mengiyakan permintaan kami.  

Lorong-lorong kereta dengan ornamen-ornamen belanda dan bangunan tua mengingatkan aku tentang film perjuangan zaman dulu. Kursi-kursi yang berjejer di samping peron tersusun rapi, beberapa penumpang tertidur pulas berselimutkan kain seadanya. Aku menyusuri stasiun ini sampai ke toilet wanita.
Selesai membuang hajat, aku kembali ketempat tadi. Tampak seorang bapak yang sedang ikut bergabung dan langsung menyerca pertanyaan kepadaku “mbak ini yang ikut di bis kan?” tanyanya serius, lalu Pras langsung menjawab pertanyaa si bapak tadi “ iya dia duduk disamping saya”. Dengan wajah bingung aku langsung duduk kembali disamping pras, namun bapak tersebut masih melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada kami dengan serius. “bapak ke diponya aja mungkin dia akan balik kesana, soalnya kita turun di jayabaya tadi” jelasnya. Entah apa yang mereka sebenarnya bicarakan. “gue gak tau apa-apa malah jadi sasaran” kata Amir yang tampak begitu polos. Oh jadi si bapak tadi kehilangan tas kecil yang berisi dokumen penting di bis tadi, dan tepat disampingg si bapak tadi adalah Amir. Dengan jawaban yang tidak meyakinkan dan membuat si bapak yakin kalau Amirlah yang mengambil tasnya. Amir masih begitu kekeuh dengan keyakinannya kalau bukan dia yang mengambil tas bapak tadi. Amir yang tampak pulas dengan buffnya benar-benar tidak mengetahui dimana tas si bapak tadi melayang.  Akupun tidak mengerti kenapa si bapak tadi bisa menuduh Amir dengan mudahnya. Apa karena wajah Amir yang tampak seperti orang jahat? Pencabul? Maling? Atau semacamnya? Ah wajah itu tidak menjamin kalau orang itu baik atau tidak.  Kalau aku jadi Amir, aku bisa saja pamerkan iphone yang aku punya dan sejumlah uang yang aku bawa. Lalu si bapak tadi juga katanya meminta untuk membongkar carrier kami. Silahkan saja, asal bapak mau membereskan semua. “Kalo isi dokumennya penting dan dia juga’maen’ bisa abis dah ketauan kantor, atau dia bisa aja di mintain duit sama yang nemuin tasnya” kata Arief dengan gaya bicaranya yang khas.  Aku masih saja terpelongo dan bertanya-tanya kepada Pras yang tampak santai dan terlihat masa bodo.

----  
                                                      
 Suara-suara panggilan ilahi sampai merasuk ke dalam hati. Aku mulai bersiap-siap menuju masjid yang mulai memanggil-manggil kami. Para ibu-ibu pun berbondong-bondong mengantri untuk mandi. Ternyata para ibu-ibu ini adalah peziarah yang akan berziarah ke madura, aku hanya tersenyum ramah walaupun mukaku sudah kusam dan malas untuk dipandang. Setelah azan berkumandang, semua jamaah bersiap untuk sholat sunnah. Setelah iqomah para jamaahpun mengambil posisi dan merapatkan shafnya serapat mungkin. Tapi aku pikir yang mereka rapatkan bukanlah shaf. Tapi sajadah lebar yang mereka rapatkan. Entahlah apa mereka tidak mengerti bagaimana meraptkan shaf yang sebenarnya. Merapatkan shaf adalah bertemunya tumit kaki dan pundak dengan jamaah, sehingga tidak ada celah untuk syaitan masuk ke dalam sholat kita. Bukan merapatkan sajadah. Sajadah hanyal alas untuk sholat dan bukannya shaf. Aku terheran dan aku rapatkan kakiku dengan ibu-ibu yang berdiri disampingku, ya mungkin hanya aku yang merapatkan shaf. Tak tahu apakah sholatku diterima atau tidak. Wallahu’alam aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba, sebagai rasa syukurku atas apa yang telah Rabbku berikan padaku, aku tidak bisa membalas semua nikmat yang Rabbku berikan. Bahkan dengan nyawaku saja tidak cukup untuk membalas semuanya. Setelah sholat selesai, aku berdzikir sebentar dan langsung keluar meninggalkan masjid .
Suara-suara obrolan kembali memecah suasana pagi ini. aku kembali menghampiri mereka dan duduk manis di samping Pras. Endut dengan ponselnya asik bersosial media dan juga obrolan renyah Arief, Pras dan bang Ickoypun melengkapi suasana pagi ini. “budayakan mata merah” kataku tiba-tiba dengan tatapan nyeleneh kepada Endut seakan memancingnya untuk segera meledekku, “ lu kenapa si crut budayakan mata merah mulu” katanya yang tampak keheranan. “jadi lu gatau kata-kata hits kayak gitu? Belum liat videonya? Dih katro, itu kan udah lama banget” kataku dengan wajah mengesalkan. “dih songong ni anak emang itu apaansih?” katanya lagi terheran. Aku langsung memberitahu tentang video anak perempuan SMA yang menggemparkan dunia maya ini. Dengan gayanya yang sedikit tengil berlogat sunda dan sambil merokok itu membuat kami tertawa dan mengulang-ulang kembali videonya. “eh bikin nih viedonya buat seru-seruan aja luu” kata Endut, aku tertawa terpingkal-pingkal melihat raut wajah Endut setelah melihat video singkat itu. “Pling pake hape lu pling” katanya kepada Arief. Arief hanya mengiyakan permintaan Endut.  Maul, Endut, Arief, Pras, Bang Ickoy dan Aziz mulai mengambil posisi dan menyiapkan narasi, kata-kata apa yang akan mereka katakan ketika di video nanti. 

Kamera ponsel Arief menjadi korban, Endut mulai bersiap sebagai narator dan yang lainnya juga sudah siap dengan atribut yang mereka kenakan masing-masing. Kepulan-kepulan yang mereka ciptakan membuat seakan ruangan ini dipenuhi oleh kabut di ketinggian. Mata beller yang tertanam di wajah mereka kini di keluarkan. Tampak seperti orang yang habis menenggak minuman keras berbotol-botol. Lalu Endut mulai merekam “kami dari Vespache, jangan lupa budayakan mata low” sambil mengepulkan asap dari mulutnya mengarah ke kamera. Lalu satu persatu wajah-wajah aneh mereka ditampakkan pada video tersebut. Beberapa kali mereka mengulang rekaman video agar dapat hasil yang memuaskan. Durasi video tidak begitu lama. Aku tertawa terpingkal-pingkal ,tidak peduli semua orang melihatku yang tertawa seperti orang kesurupan. Pagi ini mereka membuatku melupakan lelah yang melekat pada badan, membuat otot-otot pipi aku mengencang dan juga membuat mataku mendadap sipit bak keturunan cina.

•••

Surabaya berlalu dan Semarang kini datang. Di antara tumpukkan carrier dan panasnya matahari kami kembali terdampar di depan stasiun Semarang. Lalu lalang orang yang jalan memandangi kami bak gelandangan yang tak tahu tujuan. Wajah kusam dan kumal melekat pada tubuh kami yang mulai menghitam.  Suara petugas stasiun mengumumkan bahwa ada barang yang tertinggal di gerbong kereta dimana kereta tersebut adalah kereta yang beberapa menit tadi kita tumpangi. Dan sial! Ternyata kantung plastik yang tertinggal adalah milik kami. Beberapa chargeran hilang dan wifi mobile kepunyaan Pras pun raib. Kami hanya bisa mengikhlaskan toh yang sudah hilang yasudah hilang. Mungkin akan digantikan dengan yang lebih baik lagikan. Gelak tawa membuncah seketika Gusli jadi sasaran tembak dan bahan ledekan anak-anak karena kantung yang ketinggalan. Tak mengapa, asal jangan jiwa ini saja yang melayang. Aroma-aroma masakan dari deretan toko makanan di belakang kamipun mulai bersahutan seakan meambai-lambai agar kami membeli makanan itu. Aku sebenarnya mau, karena uangku masih ada tapi aku pikir-pikir lagi ternyata uangku tinggal seratus ribu rupiah, aku wanti-wanti kalau ada ongkos yang masih dipintai lagi. Aku mengurungkan niatku dan tiba-tiba datanglah nasi bungkus berlauk ikan asin, urap(makanan yang berbahan sayur-sayuran yang direbus dan ditaburi dengan kelapa parut yang sudah diberikan bumbu), dan beberapa sayur lainnya dari orangtua temennya adik ka Endah. Kami bersyukur karena masih diberikan nikmat dan rezeki berupa nasi bungkus ini hehe.
Tiga jam kami menunggu di stasiun untuk keberangkatan kereta selanjutnya menuju Cirebon, setelah kenyang menikmati lalu lalang orang yang lewat, kenyang mencium aroma dari roti O, kenyang meraskan kegerahan dan kenyang tertidur sampai pulas di antara tumpukkan carrier yang berjejer. Kami mulai memasuki peron stasiun kereta, namun kali ini berpencar karena perbedaan gerbong dan tempat duduk. aku, Pras, Endut, Arief, dan Amir satu gerbong dengan jarak duduk yang tidak berjauhan, dan yang lainnya ada yang di gerbong empat belas, duabelas, delapan, dan paling jauh berada di gerbong lima. Masing-masing barang kini tidak lagi digabungkan, melainkan sudah jatuh ke tangan masing-masing. Rasa lelah kami kembali menghantui, aku yang sudah tak tahan dengan keringat yang sudah melekat dan mulai lengket dibadanpun harus bisa tahan sampai Jakarta nanti.


Madu Membawa Kesuksesan

Sesampainya di stasiun tegal, banyak penumpang yang naik dan turun, begitu juga dengan seorang bapak yang baru saja naik dari stasiun tegal dan sibuk mencari nomer kursi miliknya. Dengan pakaiannya yang santai dan membawa satu tas berukuran sedang pun ia duduk sederet dengan kami. “loh sekarang lagi musimnya hape retak kayaknya ya?” katanya sambil melihat ponselku yang layarnya retak. aku hanya membalas senyum dan terkekeh “lagi model pak” sahut Pras. Endut yang berada di seberang kursiku pun ikut menyahuti intro obrolan kami yang juga mengalami hal serupa denganku. Dengan ramah si bapak memulai intro pembicaraan di kereta ini. “mau kemana dek?” tanyanya, “mau ke jakarta pak” jawab Pras, “oh habis kemping ya libur panjang? Saya juga mau liburan, mau nonton kapten amerika di cirebon” kata si bapak dengan ramah maksud dan tujuannya ia naik kereta ke cirebon. “loh jauh banget pak sampe ke cirebon” timpalku. “iya soalnya di tegal gak ada bioskop, jadi ya harus ke cirebon. Nanti saya pulang jam empat pagi, ini sudah beli tiket pulangnya hehe, keponakan saya lagi ulangtahun jadi dia minta kadonya nonton kapten amerika sama dibawakan asinan sama kerupuk mie” kata si bapak yang ramah kepada kami sambil memperlihatkan bungkusan asinan dan sebungkus kerupuk mie kuning. Tak segan-segan pula si bapak menawarkan kepada kami kerupuk mie yang ia bawakan untuk keponakannya. Kami yang seakan lebih muda dari si bapak hanya tersenyum dan mengucapkan “terima kasih” karena sudah menawarkan kami makanan yang akan diberikan keponakannya itu. Dengan panjang lebar si bapak mengobrol dengan Arief, Pras dan Endut. Samar-samar aku dengarkan dalam keadaan mengantuk bahwa beliau saat ini menjalankan usaha madu berkualitas yang dapat membantu orang-orang menjadi sehat.  Berawal dari usahanya yang hanya bermodalka Rp. 5.000.000,- dan sampai saat ini ia mendapatkan penghasilan yang begitu lumayan dari hasil usaha madu berkualitasnya itu. Beliau juga menjelaskan bagaimana kami harus bersyukur, tata cara menawarkan madu yang kita jual, sampai beliau berpersan bahwa jangan pernah meminta kepada Yang Maha Kuasa ketika setelah sholat. Bahkan sampai istri beliau juga menjalankan usaha madu di toko milik istrinya namun dengan harga jual madu yang tidak terlalu mahal. Beda dengan madu-madu si bapak yang dijualnya. Jadi begitulah kurang lebihnya .

Gusli masih berusaha mencari tiket kereta menuju Jakarta, ia masih berusaha agar kami bisa ikut naik kereta ini sampai Jakarta, awalnya kami memang berniat untuk tidak turun sampai Jakarta nanti. Tapi kami tidak ingin menanggung resiko yang begitu berat. Kami berusaha jujur.berbagai strategi sudah di siapkan agar kami bisa mendapatkan tiket kereta, namun takdir berkata lain. Kami harus menelan kenyataan pahit bahwa kami tidak bisa ikut kembali dengan kereta tadi.
Aku, Pras, Arief, Aziz, Amir, Endut, Maul, Bang ikcoy dan Ka genk sudah turun 10 menit yang lalu setelah kereta meninggalkan kami. Aku bertanya-tanya kemana dan dimana Ka Hanum, Ka Dini dan Ka Endah? Apa mereka nekat untuk tidak turun dengan tiket kereta yang hanya berhenti di cirebon saja? Atau mereka masih berusaha mencari tiket kereta tujuan Jakarta?. Kami yang masih berada di peron pun sudah di usir oleh petugas keamanan stasiun, pintu keluar sudah dibuka lebar dan kami memilih untuk menunggu di pelataran stasiun kereta cirebon. Hawa panas yang melekat pada tubuh membuat kami tampak seperti gembel yang tengah di usir karena tidur didepan toko miliknya. Sekali lagi aku masih bertanya-tanya kemana para tiga wanita itu? Apa mereka sengaja meninggalkanku karena mereka pikir ada Pras yang menemaniku dan membiarkan aku menjadi wanita satu-satunya diantara para lelaki ini?? atau mereka marah kepadaku karena selama perjalanan aku terlalu sering bersama Pras dibanding dengan mereka? Ah lebih baik aku berpikir positif saja, mungkin mereka sudah lelah karena perjalanan kemari, mungkin mereka mengejar waktu untuk bekerja. Beda denganku yang masih menganggur dan memiliki banyak waktu untuk bersantai.

Perutku sudah mulai lapar, sisa uangku di saku masih seratus dua puluh lima lagi. Tampaknya siomay di depan stasiun cocok untuk mengisi perutku yang sudah berontak untuk di isi ini. aku membeli dua bungkus dengan harga limaribu perbungkus. Satu untukku dan satu lagi untuk teman-temanku yang sedang makan prasmanan di depan stasiun. Setelah makan selesai, Ka Genk menghampiri supir angkot yang tengah mangkal di depan stasiun bersama para becak. Negosiasi antara Ka Genk dan supir tidak berlangsung lama, setelah harga deal. Kami langsung masuk kedalam angkot menuju terminal bis cirebon.
Kota cirebon yang begitu ramai, seperti kota-kota biasa dengan berbagai macam mall di dalamnya, lampu-lampu kota yang terang, lalu lalang orang berjalan, tukang-tukang yang berjualan pun ikut meramaikan kota cirebon ini. seorang wanita di pinggiran yang mengendari motor menjadi sasaran godaan mata Endut sambil bilang “wuih cakep tuh” membuat siulan dari mulut Endut pun mungikin terdengar dari balik angkot ini. lagu Peterpan yang memutar dan meramaikan angkot ini seakan memiliki mantra dahysat bagi yang mendengarnya, seketika mulut-mulut mereka komat-kamit melanjuntan setiap lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ariel Peterpan. Ohya sekarang malam minggu pantas saja banyak anak-anak muda yang berpelukan di pinggir jalan.

Suara ponselku berbunyi, ternyata dari ka Hanum yang meminta maaf padaku karena tidak pamit lagi, akupun membalasnya dengan ramah, jadi untuk apa aku marah? Akupun meminta maaf padanya kalau jika selama perjalanan aku tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk berkumpul dengan mereka. Maaf dan terima kasih membuat hati sama-sama menerima kenyataan. Dua hal yang sangat sederhana namun luar biasa dampaknya. Ya aku belajar dari ka Hanum yang selalu tertawa dan ramah pada siapa saja. Bagiku, ka Hanum adalah perempuan yang memilki hati yang lapang dan tidak mudah marah. Walaupun Ka Hanum lebih tua dariku tapi tetap saja aku harus menghormatinya. aku bisa mengambil pelajaran darinya.

Kami telah sampai di stasiun cirebon, para calo langsung menghampiri kami dan menawarkan bis dengan harga yang relatif mahal. Aku tak tahu, berapa budget yang tersisa dalam saku-saku kami. Mungkin kalau aku yang berdiri dan di tawari bis seharga Rp.80.000,- aku sudah mengiyakannya tanpa basa-basi. Yang penting aku bisa sampai kerumah dengan selamat. Tapi kali ini, ka Ubay dan Gusli masih mencari harga bisa semurah mungkin, kalau bisa kami mendaptkan bis seharga Rp.35.000,- agar sampai ke jakarta. Aku hanya menunggu bersama yang lainnya di depan terminal Cirebon. Gelas-gelas berisikan kopi hitam membuatku yakin kalau kami akan lama disini. Pras yang tampak lelah rasanya sudah tidak ada gairah untuk bicara. Sedangkan yang lainnya masih tertawa terbahak dan menikmati setiap sudut jalanan kota cirebon ini. Gusli datang kepada kami sambil berbisik, bahwa ia sudah menemukan bis seharga Rp.70.000,- dan masih bisa di negosiasi lagi, kami masih berusaha agar mendapatkan harga semurah mungkin, sampai akhirnya kernet bis menurunkan limaribu dari harga sebelumnya. Bis eksekutifpun mengantarkan kami sampai ke Jakarta. Tubuh-tubuh lelah kini sudah sampai pada titik dimana kami sudah tak berdaya untuk berkata-kata.

Jakarta, Minggu 8 Mei 2016

Jakarta oh Jakarta... kota metropolitan yang sangat sibuk dan kemacetan yang melekat pada tubuh kota ini, kota metropolitan yang digemari para perantau dan sekaligus ini adalah kota kelahiran dan kampung halaman. Jakarta bagiku tidak cocok disebut sebagai kampung halaman. Udaranya yang panas membuatku tidak betah berlama-lama disini, walaupun aku harus mengais rezeki dari kota yang sesak ini. 


Pukul 03:15 wib kami sampai di Jakarta, di Slipi tepatnya. Tampak seperti pemudik yang baru saja sampai dengan barang bawaan yang sangat ramai, kami menunggu metromini atau kopaja yang akan mengangkut kami selanjutnya.Tapi Gusli memanglah sangat inisiatif untuk mencarikan charteran angkot sampai menuju rumah Endut. Untuk charteran angkot yang terakhir, kami kembali memasukkan carrier yang tergeletak di troroar jalan. udara khas Jakarta yang panas ini membuat aku rasanya ingin sekali sampai dan langsung membersihkan tubuhku yang sudah lengket seperti permen karet. Di jam-jam segini, Jakarta tampak damai dan lancar. Tidak seperti siang hari yang menampakkan ke gaharannya panas Kota Jakarta. Kali ini lagu-lagu padang mengiringi perjalanan kami menuju rumah Jordi yang besampingan dengan rumah Endut. Gusli yang asli orang padang pun seakan menemukan saudara lama yang sudah lama tidak bertemu dan ia langsung mengeluarkan jurus bahasa padangnya. Rasanya mereka seperti merindukan kampung halaman.

                                                                                  •••


“Dan lalu ...
rasa itu tak mungkin lagi kini
tersimpan di hati, bawa aku pulang rindu
bersamamu..
Dan lalu...
air mata tak mungkin lagi kini
bicara tentang rasa
bawa aku pulang,rindu..
segera..
Jelajahi waktu ketempat berteduh hati kala biru..

Dan lalu...
sekitarku tak mungkin lagi kini
meringankan lara bawa aku pulang, rindu
segera...”   (
float – pulang)


Akhirnya perjalanan ini selesai, tapi perjalanan hidup kami belumlah usai.

Vespa melaju sedang...
aku seperti windu dan defrina, berdua menyusuri jalan gang-gang jalan rawa buaya, melewati sekolah SMP 264 , tempat dimana ia dulu bersekolah, tempat dimana ia dipertemukan dengan teman-teman yang sampai saat ini masih terjalin indah. Tempat dimana banyak cerita dan kenangan. Mungkin itu adalah masa lalu. Tapi pagi ini aku menyusuri jalan itu, melewati masa lalu dan berjalan maju untuk pulang, mengarungi waktu dan mencoba berjuang untuk masa depan.
Blackgoat, vespa kesayangan. Terasa embal aku dibawanya, duduk miring bak ibu-ibu atau seperti pasangan yang baru saja pulang berkencan? Ah kencanku terlalu lama untuk kalian ikuti. Terlalu jauh untuk kalian arungi. Jangan di tiru, cukup aku saja bersama mas-mas lucu yang sedang memboncengku bersama Blackgoat si vespa kesayangannya ini.

                                                                                •••



Terima kasih untuk

Ka Endah yang membantuku mengobati sakit pinggangku
Ka Hanum yang aku bisa mengambil pelajaran memiliki hati yang lapang
Ka Dini yang mengajarkanu untuk selalu tertawa dalam situasi apapun
Ka Genk yang memiliki jiwa yang besar
Ka Ubay yang selalu bertindak tanpa banyak bicara
Amir dan Aziz yang mengajarkanku untuk selalu bersama
Bang Ickoy yang mengajarkanku untuk tidak mengeluh membawa berat beban
Endut yang cuek dengan perkataan orang
Maul yang mengajarkanku untuk bisa tidur dimana saja
Gusli yang mengajarkan aku untuk memiliki inisiatif disaat sempit seperti itu.
Arief yang ehmmm mengajarkan aku untuk menjadi orang yang humoris *kepaksa karna ketinggalan*
dan kamu.. jagoanku heheuuu...

#keepsolid dan #bawaadem wkwk



9 komentar:

  1. Cruttttttt, ini kamu romantis banget sih :p

    BalasHapus
  2. huahaha aku emang romantis koq:3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ty parah ih parah, jadi kamu nggak mau ngucapin makasih sama arif? Pantesan kok orangnya kurang satuuu. Wkwkwk

      Hapus
  3. huahahahahaahaa iya yaaa
    haduh ngakak. ini odangnya udah baca apa belom yak wkwkwkw wkwkwkw

    BalasHapus
  4. Gw baru baca. Bacanya sambil makan rendang. Yang gw ambil ternyata lengkuas, bukan daging. Sakit!! T_T

    Di tengah2 baca, Mama masuk kamar : "baca apa Ka?"//"tulisan teman waktu ke Semeru kemarin"
    *trus Mama ikutan baca*
    Baru 10 menit "ceritanya panjang banget.. Mama ngantuk". Hahaha dia give up, tapi aku ga'.

    Anyway, seru; haru; lucu; keren.

    Terimakasih kembali Listy.. semoga nanti bisa jalanjalan lagi. Aamiin...

    BalasHapus
  5. Heeem...ini dia Blog nya
    Terimakasih Listy.., ude gw mah mau bilang Terimakasih aja. Semoga ada tulisan-tulisan lain yang ada gw nya. Aamin....

    BalasHapus
  6. Heeem...ini dia Blog nya
    Terimakasih Listy.., ude gw mah mau bilang Terimakasih aja. Semoga ada tulisan-tulisan lain yang ada gw nya. Aamin....

    BalasHapus
  7. Ka Hanum : heheu ditunggu undangan jalan2nya kaaks

    Kagenk : terimakasih kembali kagenkm sudah menuai bayak cerita diperjalanan kali ini heheu

    BalasHapus